Dimuat di majalah National Geographic Traveler edisi Oktober 2014, bersanding dengan para blogger ternama Indonesia.
Enjoy!
Peluh bercucuran ketika saya menginjak anak tangga terakhir di lantai 18 mercusuar tua itu. Aroma besi berkarat yang tercium kuat sejak memasuki bangunan, seketika hilang berganti hembusan angin segar. Sejauh mata memandang, lautan jernih bertabur batuan granit bagai menyatu dengan awan putih yang menggumpal di langit. Pemandangan indah 360 derajat tersaji di depan mata, menghapus lelah saat tadi menaiki tangga melingkar.
Mercusuar L.I. Enthoven yang dibangun pada tahun 1882 itu berdiri kokoh di Pulau Lengkuas, masih berfungsi baik dan masih menjadi tujuan utama para pelancong yang berwisata ke Pulau Belitung. Setiap hari, pada jam 5 sore hingga jam 6 keesokan paginya, lampu suarnya beroperasi menyoroti lautan di sekitar untuk menuntun lalu lintas kapal yang keluar masuk Pulau Belitung. Bangunan setinggi 70 meter ini memang sudah sangat tua, terlihat dari beberapa bagian anak tangganya yang telah ditopang kayu lapuk. Karat tersebar di lantai baja, daun jendela, dan pegangan tangga.
Karena menyeberang dari Kampung Tanjung Binga sebelum jam 7 pagi, kami bertiga menjadi rombongan pertama yang mendarat di Pulau Lengkuas, tempat mercusuar berdiri. Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit hingga kami menginjakkan kaki di pasir Lengkuas. Setelah mengobrol sebentar dengan penjaga mercusuar, mencuci kaki di ember, dan menitipkan sandal, kami masuk ke bangunan baja itu. Nyaman sekali menghirup udara pagi dari ketinggian, tanpa suara manusia lain. Hanya terdengar debur ombak, kicau burung, dan shutter kamera. Beruntung saya membawa lensa fisheye dalam perjalanan kali ini, sehingga bisa mengabadikan luasnya laut dari puncak mercusuar dengan hasil efek yang unik. Menjelang jam 9 kami lihat kapal lain mulai berdatangan, jumlahnya puluhan! Kami putuskan untuk turun di saat yang tepat, sebelum puncak mercusuar penuh sesak oleh pelancong lain.
Selepas Lengkuas, kami menyusuri laut kembali dan singgah di beberapa pulau. Pulau Pasir seperti menjadi milik kami bertiga karena tidak ada seorang pun sedang mengunjunginya. Seperti umumnya pantai lain di Belitung, pasir putihnya terasa lembut dan bersih dikelilingi air bening dan hangat. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, kami berlari-lari menuju perahu dan segera menuju Pulau Kepayang. Selain untuk makan siang dan menikmati kelapa muda di restorannya, kami bisa menumpang berteduh. Teh dan kopi panas disuguhkan secara cuma-cuma oleh pemilik restoran, menemani siang yang basah dan dingin. Ketika hujan berganti rintik, terlihat beberapa rombongan tamu mulai melanjutkan kegiatan outbound atau team building mereka. Pulau Kepayang memang memiliki fasilitas cukup baik untuk melakukan kegiatan luar ruangan: penginapan, restoran, toilet, dan tempat ibadah.
Spot terakhir kami sore itu adalah Pulau Burong, masih dengan pasir putih dan kumpulan batu granit raksasa unik di pantainya. Kami menceburkan diri di air laut, berenang sambil menikmati matahari kemerahan yang kadang tertutup awan mendung. Menjelang senja, perahu kembali ke Tanjung Binga melewati obyek menarik di tengah laut seperti Batu Garuda dan Pulau Batu Berlayar.
Wisata Laskar Pelangi
Pulau Belitung atau Belitong atau Billiton sudah lama tertulis di agenda perjalanan saya, jauh sebelum populer karena novel dan film Laskar Pelangi. Tapi entah mengapa rencana ke sana selalu tertunda, selalu dikalahkan oleh agenda mengunjungi Indonesia bagian timur. Jika saya lakukan beberapa tahun lalu, mungkin saya tidak akan berjumpa dengan ratusan wisatawan lain, atau terheran-heran melihat papan-papan di tepi pantai bertulis 'lokasi shooting Laskar Pelangi'.
Ya, tulisan itu terpampang jelas di lokasi parkir Pantai Tanjung Tinggi di daerah Sijuk, sekitar 30 km ke arah utara pusat kota Tanjungpandan. Pantai indah yang diapit oleh dua semenanjung ini menjadi terkenal setelah dijadikan lokasi pengambilan gambar film yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata itu, sehingga seringkali disebut sebagai Pantai Laskar Pelangi. Pasirnya putih lembut dengan air laut bening kehijauan. Namun yang paling istimewa adalah hamparan batu-batu granit berbagai ukuran, dari yang kecil hingga sebesar gedung. Saya memuaskan hasrat memotret sambil sesekali berpindah-pindah, memanjat-manjat, melompat dari batu satu ke batuan lain. Perpaduan yang sempurna antara batuan granit, laut jernih, dan langit biru. Siang itu, hujan tiba-tiba turun lagi dengan derasnya. Kami berlarian menuju deretan warung makan tak jauh dari pantai. Sambil menanti hujan reda, terhidang makan siang dengan menu ikan, udang, dan cumi bakar. Tak lupa kami cicipi kuliner khas Belitung, sayur gangan berkuah segar! Sedap!
Selain pantai, tempat wisata baru yang akrab di telinga wisatawan sebagai lokasi pengambilan gambar di film Laskar Pelangi adalah replika bangunan sekolah di daerah Gantong, Belitung Timur. Bangunan itu berdiri rapuh di tanah, seluruhnya berdinding kayu. Dua ruang kelasnya terlihat kotor, dengan beberapa bangku bercorat-coret tulisan tangan anak-anak. Kayu penyangga di sisi luar menopang bangunan yang hampir roboh itu. Replika sekolah yang dibangun di atas bukit kecil bekas penambangan timah itu kabarnya sangat mendekati kondisi asli bangunan SD Muhammadiyah.
Bagi penggemar sastra, senang membaca dan menulis, museum Kata Andrea Hirata di Gantong menyajikan semacam perjalanan napaktilas cerita di novel Laskar Pelangi. “Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu” - terpampang besar di ruangan pertama. Cuplikan kalimat bijak, foto-foto dari filmnya, hingga cuplikan kata-kata inspiratif dari tokoh terkenal menghiasi dinding-dinding ruang selanjutnya. Meja dan kursi vintage menghiasi rumah kayu itu, ditemani buku-buku dan majalah. Di bagian belakang, terdapat dapur tradisional yang telah disulap menjadi warung kopi 'Kopu Kuli'. Sore itu kami bersantai menikmati kopi sambil berbincang dengan beberapa remaja yang menjadi relawan penjaga dan 'guide' di museum itu.
Pasar dan Warung Kopi
Pasar tradisional dan tempat nongkrong favorit masyarakat setempat adalah dua hal yang wajib saya jelajahi ketika berkunjung ke daerah baru. Karena belum pernah melihat perkebunan sawit dari dekat, maka saya menyiyakan ajakan untuk bersepeda motor menjelajahi kebun dan mampir ke pasar tradisional di sekitar perkebunan. Ikan segar, cumi, tempe berbungkus daun simpor, sayuran kami bawa pulang untuk dimasak bersama keluarga kenalan baru saya. Makan ala 'berige' atau makan bersama di tengah kebun sawit, menjadi pengalaman seru dalam perjalanan ini.
Dua hari berturut-turut kami mampir ke warung kopi Kong Djie, yang terletak di depan Gereja Regina Pacis. Warung yang buka sejak tahun 1945 ini sangat legendaris. Tungkunya unik karena terletak di jendela, sehingga siapapun yang menengok ke arahnya akan melihat para pegawai warung sedang menjerang air dan menyiapkan kopi hangat bagi pengunjung. Warung ini setiap hari ramai sejak lepas subuh, dikunjungi oleh mereka yang ingin menikmati sarapan sebelum berangkat kerja. Sore itu saya duduk berbincang dengan beberapa pengunjung yang sedang bermain catur sambil ngopi, bertukar cerita tentang alam Indonesia.
Waktu terbaik berkunjung:
Sebaiknya dilakukan pada bulan-bulan tanpa hujan, karena berwisata ke pantai dan laut lebih menyenangkan saat matahari bersinar terik. Tapi karena saat ini cuaca sering berubah tak tentu, agak sulit menentukan bulan terbaik untuk berkunjung ke Belitung. Di bulan Mei lalu, saat saya berkunjung ke sana, cuaca yang seharusnya panas, sempat berganti mendung dan beberapa kali hujan.
Waktu terbaik ke Mercusuar Pulau Lengkuas:
Pagi hari sebelum jam 7 harus sudah berangkat dari Tanjung Binga atau Tanjung Kelayang, agar tidak terlalu panas dan belum terlalu ramai oleh wisatawan lain. Anda tidak dipungut biaya, namun diharapkan memberi sumbangan sukarela setelah turun dari puncak mercusuar. Jangan lupa membawa bekal air minum karena naik turun anak tangga 18 tingkat cukup menguras nafas.
Akomodasi:
- Bukit Berahu Cottage sepertinya menjadi lokasi favorit, karena kamar-kamarnya terletak tepat di depan pantai. Karena harus menuruni 92 anak tangga yang cukup curam sebelum sampai ke kamar, sebaiknya keluarga yang membawa orangtua atau anak kecil tidak bermalam di sini. Letaknya di bawah tebing di Desa Tanjung Binga. Fasilitas restoran dan kolam renang berada di bagian atas dengan pemandangan ke laut lepas.
- Hotel Lor In menjadi pilihan lain, terutama bagi keluarga yang membawa anak-anak, karena mudah dicapai dan berada di depan pantai juga.
- Hotel Billiton yang berada di pusat kota Tanjungpandan, menempati bengunan yang dulunya merupakan kantor pusat perusahaan timah. Mudah dicapai dari bandara.
Transportasi:
- Sewa perahu
Biaya sewa perahu sekitar Rp 400 ribu untuk 10 orang, dan bisa disewa selama sehari penuh. Perjalanan ke Pulau Lengkuas tidak lama, hanya sekitar 30-40 menit jika ombak sedang bersahabat, tergantung dari titik mana Anda berangkat. Bisa dari Tanjung Binga atau Tanjung Kelayang.
- Angkutan darat
Karena Belitung tidak memiliki angkutan umum, sedangkan jarak dari satu lokasi ke lokasi lain cukup jauh, sebaiknya Anda menyewa mobil untuk memudahkan mobilitas.
Hidangan lokal:
- Mie Atep
Mie Belitung Atep sangat populer bagi warga setempatdan pelancong. Mie Belitung terbuat dari mie juning, udang, kentang, dan kuah kental gurih kemanisan, Buka setiap hari dari jam 8 pagi hingga 7 malam. Jl. Sriwijaya No. 27, Tanjungpandan
- Kopi Kong Djie
Buka setiap hari dari jam 5 pagi hingga 4 sore. Tersedia Kopi O, Kopi Susu, Teh Susu, Teh Manis, hingga telur kampung setengah matang serta beragam kue kecil. Alamat: Jl Siburik Barat No 4, Tanjungpandan.
- Resto Timpo Duluk
Bagi Anda yang ingin mencicipi hidangan khas Belitung otentik di satu tempat, restoran ini bisa menjadi pilihan. Interiornya menarik, penuh dengan pernak-pernik tradisional. Sayur gangan ikan, ayam semur, sambal sereh, urap sayur dan hidangan khas lainnya bisa Anda nikmati dengan perangkat makan kuno. Jl Mat Daud No 22 RT 11/RW 04, Belitung.
No comments:
Post a Comment