June 03, 2012

NKOTBSB: walking down the memory lane :-)



pengakuan: i'm a diehard blockhead back then, 
antara 1989-1993an..haha! 
sampai hafal semua nama lengkapnya, tanggal lahirnya, 
koleksi kaset, poster, pin ampe kaos :-D 

waktu NKOTB konser 3 hari di awal 1992, 
anak SMP di pelosok jogja ini cuma bisa baca berita2nya 
di majalah abege sambil meler :-p. 

20 taun berlalu. 
baru pada H-2 memutuskan untuk nonton konser ini 
karena tawaran tiket 50% off. 
cuma ada waktu setengah hari dengerin lagu2 jadulnya 
untuk persiapan jejingkrakan, 
dan ternyata masih hafal semua liriknya luar kepala ck ck ck...


January 05, 2012

versi aslinya: Pawiwahan Ageng

text: Harum dan Hera
photo: Irfan Yusuf

versi cetak dan online bisa dibaca di sini ya.



“Kulo Abdi Dalem, Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara SE, MSi dinten meniko ngestoaken dhawuh timbalan dalem. Kadhaupaken kaliyan putro dalem putri Gusti Kanjeng Ratu Bendoro BA kanthi mas kawin kitab suci Al-Quran, perangkat sholat, sarta rojokoyo puniki. Salajengipun, nyadhong berkah pangestu dalem, sembah nuwun.”

Sebaris kalimat jawaban ijab qobul berbahasa Jawa Kromo Inggil yang diucapkan Ahmad Ubaidillah, yang kini bergelar KPH Yudanegara, menjadi tanda sah pernikahannya dengan Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni, putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang diberi gelar GKR Bendara. Pemberian gelar kepada putra-putri Sultan lazim dilakukan sesaat sebelum mereka menikah. Di sini terjadi kenaikan kasta bagi pasangan putra atau putri Sultan yang bukan berasal dari kalangan ningrat.

Ya, hanya enam bulan sejak perhatian dunia terfokus pada kemeriahan pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton, masyarakat Indonesia disuguhi sebuah perayaan bak negeri dongeng yang tak kalah istimewa. Rangkaian pernikahan adat Jawa nan agung yang sarat makna budaya dan simbol-simbol kraton Ngayogyokarto Hadiningrat diselenggarakan selama empat hari pada pertengahan Oktober 2011 lalu. Tidak dipungkiri, efek perayaan royal wedding kerajaan Inggris Raya cukup terasa pada hajatan di Yogyakarta ini, terutama dari sisi pemberitaan. Pernikahan putri kelima Sultan HB X ini lebih banyak diperbincangkan oleh media dibandingkan pernikahan tiga putri Sultan sebelumnya. Bahkan istilah “royal wedding” pun terlegitimasi dengan sendirinya menggantikan frase “pernikahan agung” atau “pawiwahan ageng”.


Apapun istilah yang digunakan, ternyata sebuah pernikahan sarat budaya seperti ini memberi kesejukan tersendiri ditengah kejenuhan modernitas. Perhatian masyarakat Indonesia sempat tersedot kepada perhelatan akbar keluarga kraton Yogyakarta ini. Sebuah bukti bahwa tata cara dan adat istiadat leluhur masih menarik, apalagi prosesi tersebut dilakukan oleh keluarga kerajaan, tempat segala tradisi tersebut berasal.

Saat ini upacara pernikahan menggunakan adat Yogyakarta masih sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, bahkan pada keluarga yang tidak berasal dari Yogyakarta. Urut-urutan pelaksanaannya pun masih mengikuti apa yang digariskan oleh Keraton, meski dengan penyesuaian disana-sini. Bukan hal yang aneh jika Anda diundang pada sebuah acara pernikahan di hotel berbintang di ibukota, namun rangkaian acara yang disaksikan dari awal sampai akhir adalah secara adat Yogyakarta, bahkan lengkap dengan MC yang berbahasa Jawa Kromo! Tentu saja ini isyarat baik bahwa tradisi budaya masih dijunjung tinggi.