September 01, 2009

Mengunjungi Kesahajaan Suku Boti

berhubung tulisan saya ini udah tayang di MAJALAH TAMASYA edisi SEPTEMBER 2009 (halaman 104-108 yah...hihihi), so...monggo dibaca-baca. ini versi aslinya, yg di tamasya udah saya edit disesuikan ama rubriknya yg space-nya kecil..:-p

semoga memberi inspirasi...dan makin cinta ama budaya negeri kita!

====



Lelah dengan hiruk-pikuk kota besar? Bosan dengan tujuan berlibur yang itu-itu saja? Berkemas dan mendaratlah di Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur lalu meleburlah dalam kehidupan Suku Boti yang hidup di tengah pegunungan Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Tidak hanya udara segar dan cara hidup alaminya akan menghapus kepenatan, di sana Anda dapat belajar untuk lebih menghargai lingkungan dan sesama, dengan cara yang sangat bersahaja.

Suku Boti adalah keturunan Atoni Metu, suku asli Pulau Timor. Desa mereka terletak di tengah pegunungan sekitar 60 km arah timur Soe, ibukota Kabupaten TTS. Untuk mencapainya dibutuhkan empat jam perjalanan dari Kupang atau dua jam dari Soe. Setelah mendapati suguhan pemandangan alam dengan jalan berliku, Anda harus melewati batu terjal bertepi jurang di kiri kanan, sebelum tiba di tujuan. Hanya kendaraan bertenaga besar saja yang mampu melewati tanjakan curamnya. Jika transportasi umum menjadi pilihan perjalanan, ambillah bus jurusan Kupang-Soe dengan ongkos sekitar Rp. 20.000 dan lanjutkan dengan ojek motor ke arah Desa Boti. Jika ingin lebih nyaman, sewalah mobil dari Kupang. Tanyakan dahulu apakah sopir yang membawa Anda sudah cukup berpengalaman melewati daerah ini, dan mobil dalam kondisi prima.


Keunikan Boti yang sering disebut ‘Indonesian Amish’ ini merupakan kekayaan sejarah dan budaya negeri kita yang masih lestari dan telah menarik puluhan peneliti dari luar untuk datang. Tidak heran, di buku tamu amat jarang tertulis nama wisatawan domestik. Kehidupan sederhana mereka yang jauh dari teknologi modern seperti berpagar rapat dan tidak tersentuh budaya luar, namun siapa sangka ternyata Boti menerima pendatang dengan begitu bersahabat. Di Boti, tamu akan diterima dengan terbuka setiap saat, dua puluh empat jam dalam sehari.

Pagar kayu berlapis serta bangunan adat bundar dari batu yang disebut Lopo, menandakan gerbang terakhir menuju pemukiman. Jangan heran bila Anda disambut seperti saudara dan dibisiki ”Usif sudah menanti kehadiran Anda.” Menurut cerita, Usif (raja) Nama Benu memiliki kemampuan merasakan kehadiran tamu, jadi tanpa diberitahu lebih dahulu pun beliau sudah tahu siapa yang akan datang. Dahulu, saat Boti masih diperintah Usif Nune Benu- ayah dari Nama Benu- setiap tamu yang datang akan disambut tari-tarian dan tetabuhan tradisional. Namun kegiatan itu tidak pernah dilakukan sejak Nune Benu meninggal pada tahun 2005, untuk menghormati masa berkabung.

Area perkampungan Suku Boti terpisah menjadi dua, Boti Dalam dan Boti Luar. Sekitar 400 jiwa di wilayah Boti Dalam seluas 3.000 meter persegi masih memegang teguh kepercayaan kuno yang disebut Halaika, sedangkan 2.500 jiwa yang tersebar di Boti Luar sudah banyak yang menganut agama Kristen dan Katolik. Untuk memelihara kelestarian adat serta kepercayaan kuno, ada aturan yang harus dipatuhi, misalnya larangan berpindah keyakinan bagi penduduk Boti Dalam. Apabila melanggar, maka mereka harus keluar dari lingkungan dan tinggal di wilayah luar. Hal itu pernah terjadi kepada Laka Benu, kakak sulung Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti dan tahta diserahkan kepada adiknya. Demikian sebaliknya, pernikahan dengan orang luar tidak dilarang namun setelah itu mereka kembali menutup diri dan pasangannya harus menanggalkan semua budaya luar untuk menganut budaya Boti.