January 05, 2012

versi aslinya: Pawiwahan Ageng

text: Harum dan Hera
photo: Irfan Yusuf

versi cetak dan online bisa dibaca di sini ya.



“Kulo Abdi Dalem, Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara SE, MSi dinten meniko ngestoaken dhawuh timbalan dalem. Kadhaupaken kaliyan putro dalem putri Gusti Kanjeng Ratu Bendoro BA kanthi mas kawin kitab suci Al-Quran, perangkat sholat, sarta rojokoyo puniki. Salajengipun, nyadhong berkah pangestu dalem, sembah nuwun.”

Sebaris kalimat jawaban ijab qobul berbahasa Jawa Kromo Inggil yang diucapkan Ahmad Ubaidillah, yang kini bergelar KPH Yudanegara, menjadi tanda sah pernikahannya dengan Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni, putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang diberi gelar GKR Bendara. Pemberian gelar kepada putra-putri Sultan lazim dilakukan sesaat sebelum mereka menikah. Di sini terjadi kenaikan kasta bagi pasangan putra atau putri Sultan yang bukan berasal dari kalangan ningrat.

Ya, hanya enam bulan sejak perhatian dunia terfokus pada kemeriahan pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton, masyarakat Indonesia disuguhi sebuah perayaan bak negeri dongeng yang tak kalah istimewa. Rangkaian pernikahan adat Jawa nan agung yang sarat makna budaya dan simbol-simbol kraton Ngayogyokarto Hadiningrat diselenggarakan selama empat hari pada pertengahan Oktober 2011 lalu. Tidak dipungkiri, efek perayaan royal wedding kerajaan Inggris Raya cukup terasa pada hajatan di Yogyakarta ini, terutama dari sisi pemberitaan. Pernikahan putri kelima Sultan HB X ini lebih banyak diperbincangkan oleh media dibandingkan pernikahan tiga putri Sultan sebelumnya. Bahkan istilah “royal wedding” pun terlegitimasi dengan sendirinya menggantikan frase “pernikahan agung” atau “pawiwahan ageng”.


Apapun istilah yang digunakan, ternyata sebuah pernikahan sarat budaya seperti ini memberi kesejukan tersendiri ditengah kejenuhan modernitas. Perhatian masyarakat Indonesia sempat tersedot kepada perhelatan akbar keluarga kraton Yogyakarta ini. Sebuah bukti bahwa tata cara dan adat istiadat leluhur masih menarik, apalagi prosesi tersebut dilakukan oleh keluarga kerajaan, tempat segala tradisi tersebut berasal.

Saat ini upacara pernikahan menggunakan adat Yogyakarta masih sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, bahkan pada keluarga yang tidak berasal dari Yogyakarta. Urut-urutan pelaksanaannya pun masih mengikuti apa yang digariskan oleh Keraton, meski dengan penyesuaian disana-sini. Bukan hal yang aneh jika Anda diundang pada sebuah acara pernikahan di hotel berbintang di ibukota, namun rangkaian acara yang disaksikan dari awal sampai akhir adalah secara adat Yogyakarta, bahkan lengkap dengan MC yang berbahasa Jawa Kromo! Tentu saja ini isyarat baik bahwa tradisi budaya masih dijunjung tinggi.





Dua hari sebelumnya kedua mempelai melakukan upacara siraman dan tantingan yaitu upacara pembersihan diri dan pertanyaan terakhir dari bapak mempelai perempuan akan ketetapan hati untuk melangkah ke jenjang perkawinan. Akad nikah berlangsung tertutup di masjid Panepen, Kraton Yogyakarta dengan Sultan sendiri sebagai wali nikah putrinya. Hanya kerabat lelaki Sultan HB X dan keluarga KPH Yudanegara saja yang menyaksikan. Walaupun prosesi menggunakan Bahasa Jawa, KPH Yudanegara, yang berasal dari Lampung, tetap lancar mengucapkan kalimat akad. GKR Bendara sendiri tidak dihadirkan di Masjid Panepen, dan baru berjumpa pertama kali dengan suaminya saat prosesi panggih, setelah akad selesai dilakukan.

Pada prosesi akad nikah ini, tidak semua media bisa meliput; hanya beberapa saja yang memang sudah mendapat ijin khusus dari pihak Keraton. Namun demikian, masyarakat Indonesia atau siapapun di dunia tetap dapat mengikuti detik demi detik dari seluruh prosesi, karena ‘disiarkan’ langsung di jejaring sosial twitter dan facebook. Inilah yang menjadi pembeda dengan pernikahan putri-putri Sultan HB X sebelumnya. Follow saja@KratonWedding, Anda akan mendapat laporan pandangan mata dan foto-foto terbaru langsung dari lokasi.

Prosesi panggih yang sarat makna simbolis dilaksanakan di bangsal Kencono. Turut hadir dalam prosesi tersebut adalah Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara, beberapa menteri, utusan berbagai negara, dan perwakilan 40 kerajaan di seluruh Nusantara. Pada saat panggih, kedua pengantin yang menggunakan busana Paes Ageng itu bertemu dari arah yang berlawanan, kemudian berhadapan dan saling melempar daun sirih, disebutbalangan gantal. Lemparan sirih dari pengantin putri yang diarahkan ke dada pengantin pria memiliki makna pengharapan tumbuhnya perasaan kasih sayang dari diri sang suami. Sedangkan lemparan sirih dari pengantin pria yang diarahkan pada dahi pengantin wanita menyimbolkan harapan agar ia bisa semakin menguatkan nalar dan pikirannya. Begitu pula dengan upacara prosesi memecah telur yang dilakukan sesudahnya, mempunyai arti pecahnya nalar mempelai untuk menjadi orang yang lebih dewasa. Setelahitu GKR Bendara berlutut dan membasuh kaki KPH Yudanegara sebagai tanda bakti istri kepada sang suami serta agar semua langkah di masa depan hanya didasarkan cita-cita yang baik. Itulah mengapa air pembasuhnya dicampur oleh bermacam bunga atau kembang setaman.

Siang itu, ketika upacara panggih selesai berlangsung, saya melangkahkan kaki menuju Bangsal Kepatihan di Jalan Malioboro, tempat resepsi pernikahan akan digelar. Bangsal Kepatihan yang saat ini masih aktif digunakan sebagai kantor Pemerintah Provinsi DIY itu masih sepi ketika saya tiba. Tampak para petugas dekorasi dan katering lalu-lalang mengerjakan tugasnya. Di sebuah sudut, beberapa orang tampak sibuk merangkai bunga berwarna oranye dan hiasan janur. Mereka adalah pecinta kegiatan merangkai bunga yang tergabung ke dalam sebuah asosiasi perangkai bunga di Yogyakarta. “Kami sudah ketiga kalinya terlibat dalam pernikahan putri-putri Sultan HB X,” kata pak wanto, salah satu perangkai bunga. Penuturan mereka menyiratkan kebanggaan bisa terlibat dalam hajatan Sang Raja.

Menuju pendopo utama, terlihat pelaminan indah khas Jawa berhias bunga berwarna dominan putih dan hijau. Cukup sederhana untuk ukuran kerajaan, namun sangat elegan bertatahkan ornamen ukiran dan roncean bunga melati yg mengelilinginya. Memandang sekeliling, saya menangkap warna oranye disisipkan pada berbagai benda pendukung, seperti tenda tamu, bunga hiasan meja, dan bunga-bunga diatas kotak hadiah. Tak heran karena GKR Bendara menyebut oranye sebagai warna kesukaannya.

Janur-janur kuning terlihat menjuntai di sepanjang Jalan Malioboro sampai Gedung Kepatihan sepanjang 2 km, sebagai penanda sedang dilaksanakannya sebuah hajatan. Janur, daun kelapa yang masih muda dan berwarna kuning cerah, dimaknai sebagai do’a atau cita-cita mulia untuk menggapai cahaya Ilahi dengan dibarengi hati yang bening. Beda dengan pemasangan janur pada umumnya, kali ini pada setiap janur diikatkan secarik kain batik berwarna merah-putih. Kain bercorak yang dinamakan sindur tersebut biasanya dipakai oleh orang tua pengantin adat Yogyakarta saat mendampingi di pelaminan. Warna merah melambangkan laki-laki sedangkan putihnya adalah perempuan. Padanya tersirat sebuah do’a akan kesuburan dan kemakmuran bagi pengantin. Begitulah. Melangkahkan kaki di Yogyakarta, apalagi pada saat prosesi tradisi agung seperti ini, menghadapkan kita pada berbagai simbol yang sarat makna...

Lewat tengah hari, Jalan Malioboro resmi ditutup untuk kendaraan. Warga mulai berdatangan dan mencari posisi terbaik untuk dapat menyaksikan kirab sang pengantin. Cuaca siang itu begitu terik, mengingat kota Yogyakarta sudah lama tidak diguyur hujan. Seorang Ibu yang berasal dari Kaliurang bercerita bahwa ia sengaja meluangkan waktunya untuk ikut menyaksikan meriahnya pesta pernikahan. “Saya ingin melihat pengantin dan keluarga Sultan secara langsung,” demikian ujarnya. Saya tersenyum dan menyeka peluh yang berjatuhan tanpa henti. Hal yang sama dilakukan sang Ibu dan rombongan warga lainnya yang mulai memenuhi ruas jalan. Terik matahari tidak mengendurkan semangat siapapun. Bahkan ketika jalan sudah benar-benar menjadi lautan manusia, warga dengan sukarela menunggu jalannya kirab pengantin dengan sabar dan tertib.

Duaratus pedagang angkringan berbaju sorjan memenuhi sepanjang trotoar jalan. Panas terik tentu saja menyebabkan rasa haus dan lapar semakin menjadi. Tampak beberapa turis mancanegara ikut menikmati “nasi kucing” serta tumpukan gorengan tempe dan tahu di samping gerobak. Dalam sekejap, makanan dan minuman yang disiapkan secara cuma-cuma habis diserbu oleh warga. Semua orang berpesta dan bergembira! Akhirnya penantian berjam-jam di bawah terik matahari terbayar rasa lega, saat dari kejauhan tampak ujung bulu-bulu hiasan kepala para penari bergerak-gerak.

Rombongan pengantin sudah datang! Sesaat warga menjadi lebih ramai dan bersorak-sorai. Petugas keamanan yang terdiri dari polisi dan komunitas warga menjadi lebih repot menenangkan kehebohan warga. Mungkin hari itu akan diingat oleh mereka semua yang berkumpul berpanas-panas dan berdesak-desakan, bahwa mereka pernah menyaksikan sebuah pernikahan agung. Sebuah “orkestra kebanggan” masyarakat Yogyakarta, seperti diistilahkan oleh Prof.Dr. Paschalis Maria Laksono, guru besar jurusan antropologi UGM. “Acara pernikahan ini bukan hanya pernikahan warga keraton Yogyakarta, tetapi juga menjadi sebuah peristiwa kultural milik publik Yogyakarta”, demikian dituturkan beliau. Tak heran, banyak warga Yogyakarta yang sukarela berpartisipasi memeriahkan perhelatan ini. Seperti para petani dari Bantul yang membawa hasil buminya. “ini bukan upeti mas, kami ikhlas menyerahkan karena kami bangga memiliki kraton dan raja, kata petani dari sedayu bantul yang saya temui di bangsal magangan dua hari sebelum hari perhelatan.

Saya menengok sebentar pada telepon genggam untuk mengecek akun Twitter denganhashtag #kratonwedding. Cukup banyak posting yang menyatakan kekaguman bahwa sebuah tradisi leluhur masih terjaga dengan baik hingga saat ini.

Barisan prajurit berseragam merah menyala dari Bregodo Wirobrojo atau yang lebih dikenal dengan prajurit “Lombok Abang” dan prajurit Bregodo Ketanggung yang menabuh genderang berjalan tegap mengawal kereta kencana yang dinaiki oleh GKR Bendara dan KPH Yudanegara. Empat kuda putih gagah perkasa yang menarik kereta mereka mengingatkan kita pada kisah-kisah pangeran dan putri yang diiringi kereta kuda nan megah pada hari bahagianya. Warga semakin histeris saat kereta Kanjeng Kyai Jongwiyat itu lewat di depan mereka. Kereta tersebut terakhir kali digunakan ketika pernikahan GKR Pembayun Sembilan tahun lalu. Sambil berjinjit saya melihat sosok sang putri dan pangeran yang tersenyum manis sambil melambaikan tangan dengan ramah kepada warga, Sekejap mereka bagaikan tersihir dan melupakan semua kelelahan menunggu di bawah terik matahari.

Seperti di negeri dongeng! Hanya saja, sang putri tidak mengenakan gaun dan kerudung putih panjang namun setelan kostum kanigaran dan dandanan paes ageng yang luar biasa detail dan anggun. Salut pada sang putri yang harus bangun pukul tiga pagi untuk mulai dirias oleh paes (juru rias). Menurut GKR Pembayun, putri tertua Sultan HB X, seluruh kain batik yang dikenakan oleh pengantin adalah kain yang sama yang digunakan saat masa Sultan Hamengku Buwono VII. “Hanya saja untuk pernikahan Jeng Reni kali ini, dipersiapkan kain dhodhot yang baru, mengingat yang lama sudah saatnya untuk diganti,” jelasnya.

Saya berdecak kagum hingga seluruh rombongan pengantin masuk ke dalam area Kepatihan. Secara prinsip, semua ritual yang dilakukan oleh pengantin dan keluarga Sultan Hamengku Buwono X saat ini masih sama dengan yang dilakukan oleh pendahulunya, Sultan HB I. Namun beberapa penyesuaian dilakukan seiring perkembangan zaman. Dahulu, kirab untuk pengantin hanya berlaku bagi anak perempuan pertama raja. “Kali ini putri-putri Sultan HB X mendapat giliran untuk kirab saat pernikahan karena semua memiliki pangkat Gusti Kanjeng Ratu, atau anak dari permaisuri,” demikian penjelasan dari GKR Pembayun. Penasaran dengan kabar bahwa calon pengantin harus menjalani ritual “pingitan”, atau tidak boleh pergi kemana-mana menjelang hari H, saya menanyakan tentang hal itu pada beliau. “Betul, ritual pingitan dimulai sejak H minus tiga. Pada saat itu, masing-masing calon pengantin diberi waktu kembali untuk berpikir, menyiapkan diri secara mental, dan memantapkan hati akan pilihannya untuk menikah.”

Di dalam Kepatihan, resepsi berlangsung dengan meriah. Tentu saja semua dekorasi yang siang tadi saya lihat masih dalam persiapan sekarang sudah berdiri tegak. Pengantin pria duduk di sebelah kiri pengantin putri, dan posisi duduk ini menginformasikan pada kita bahwa sang pengantin pria bukan berasal dari kalangan bangsawan keraton. Seandainya yang menikah adalah putra raja, maka pengantin putri akan duduk di sebelah kiri sang putra mahkota. Saya lalu teringat, itulah mengapa pada saat upacara adat panggih ada ritual yang dinamakan pondongan. KPH Yudhanegara pada sisi kiri menggendong GKR Bendara dibantu adik sultan HB X, GBPH Suryodiningrat pada sisi kanan mengitari Bangsal Kencana sampai ke pelaminan. Pondongan ini menyimbolkan tanggung jawab suami pada istrinya.

Pandangan saya lalu tertuju pada dua gadis kecil di samping kanan dan kiri pengantin, yang memegang kipas bulu merak. Gadis-gadis kecil ini disebut “patah”. Mereka bertugas menemani dan mengipasi pengantin agar tidak lelah. Ekspresi mereka yang sangat lugu dan lucu tentu saja dapat membuat siapapun melupakan kelelahannya.

Tidak lama setelah pengantin menempati pelaminan, apa yang kami tunggu-tunggu datang juga: pertunjukan tarian! Saya beruntung karena malam itu ada dua tarian yang dipentaskan, dan ditarikan oleh parapenari senior keraton. Tarian pertama sangat feminin, yaitu Bedhaya Sangaskara atau lebih dikenal dengan Bedhaya Manten. Para penarinya yang berjumlah enam orang berdandan sangat anggun dan bergerak dengan gemulai. Dua orang diantara mereka berdadan dan berbusana hampir sama seperti GKR Bendara saat prosesi panggih, dan memang dalam tarian itu mereka memerankan para pengantin saat prosesi panggih.

“Tarian ini aslinya berdurasi sekitar dua jam, tetapi yang dipentaskan malam ini sudah dipersingkat menjadi setengah jam,” kata Sito Hapsari, salah satu dari keenam penari tersebut. Saya takjub mendengarnya karena tak bisa membayangkan mereka menari dengan gemulai selama itu. Para penari Bedhaya Manten telah mempersiapkan diri sejak sebulan sebelum acara. Mereka berlatih dua kali setiap minggunya. Oya, tarian ini sangat spesial, karena harus ditarikan oleh perempuan-perempuan yang belum menikah. “Kami diharuskan mempersiapkan fisik dan mental, juga tidak boleh emosi serta harus tenang saat menarikannya,” demikian lanjut Sito yang sudah mulai menari klasik jawa sejak kelas tiga SD. Saya dan para tamu undangan seperti tersihir. Alunan gamelan yang dipadukan orkestra menjadi kejutan. Ternyata memadupadankan musik etnis dengan musik modern dari barat sudah menjadi pekerjaan leluhur juga.

Setelah melihat gerakan-gerakan gemulai nan feminin dari keenam penari Bedhaya Manten, pada tarian berikutnya kami disuguhi performa maskulin dari 16 penari pria yang menarikan “Beksan Lawung Ageng” atau “Beksan Trunojoyo”. Para penari lelaki gagah perkasa itu tak pelak juga membuat saya tersihir dan membayangkan para prajurit kraton zaman dahulu kala. Di sela tarian, mereka mengumandangkan suara-suara yang bahasanya tidak saya kenal. Ternyata kalimat-kalimat tersebut adalah campuran bahasa Jawa Kuno, Sansekerta, dan Madura, yang merupakan perintah atau komando dalam suatu peperangan. Suara terompet membahana berpadu dengan gamelan menambah rasa gagah tarian yang dipentaskan.

Urip-urip gulung, salah satu hidangan istimewa ala keraton menjadi salah menu favorit para tamu undangan selain wedang secang yang konon adalah makanan dan minuman kegemaran dari Sultan-Sultan sebelumnya.

Pukul sepuluh malam acara resepsi berakhir. Bersama-sama dengan para tamu, saya melangkah keluar dari kompleks Kepatihan. Begitu menapakkan kaki di trotoar jalan Malioboro rasanya seperti kembali ke kehidupan nyata. Pesta negeri dongeng telah usai. Perut, meski sudah kenyang dijamu oleh sang Raja, tetap saja saya berjalan mendatangi angkringan langganan di sudut jalan. Tak lagi gratis seperti sore tadi, tak apa... saya tetap memesan segelas teh jahe hangat. Beberapa orang yang duduk di bangku panjang menikmati nasi kucing dengan lahap saling membicarakan hingar bingar kirab pengantin sore tadi. Saya bergabung dengan mereka. Tak perlu saling mengenal siapa nama, kami larut dalam pembicaraan seru tentang putri dan pangeran yang baru saja menikah, tentang segala kekaguman dan ketakjuban, serta kebanggaan menjadi warga Yogyakarta...

22 comments:

Maztrie™ Utroq said...

Nice story...

Ndherek bingah saksampunipun maos sedaya seratan ngengingi babagan 'pawiwahan ageng' punika,

Makasih tuk berbaginya ya mBak/Mas, salam kenal...

Sri Sarining Diyah said...

harum kog gak ajak2 sih diundang masukkkkk
hahahahhaa... gimana kabarnya rum? sehat?

Andreas . said...

kok bisa masuk rum? undangan resmi ama peleth? ini masuk terbitan mana nih?

Sri Sarining Diyah said...

jangan2 sohibnya penganten tuh mas, hihihi

Sri Sarining Diyah said...

*komen orang yang ngiri*

' Badai ' said...

ini,,. ini... emang sukses bikin iri :)

Sri Sarining Diyah said...

yang pada iri mari bergabung, wkwkwkwkkk
iri kog bangga

nick hanif said...

koq aku ga diajak sih, padahal aku berpanas ria didepan kepatihan.
Teganya 1000x

suputra widharma said...

Wow keren.... makasie atas kirimannya ya... Semoga kedua mempelai menjadi keluarga yg sakinah, mawahdah, marahmah dan bisa meneladani Sri Sultan HB IX & HB X... Astungkara

harum sekartaji said...

matur nuwuuun, salam kenal :)

harum sekartaji said...

alhamdulillah sehat :-)

harum sekartaji said...

garuda inflight edisi desember dre :-)

harum sekartaji said...

:p

harum sekartaji said...

ayo mas *nggandeng mlebu*

harum sekartaji said...

monggo om *nggandheng mlebu*

harum sekartaji said...

amiiin
matur nuwun

Umi Akhdadiyah said...

kereeeeeeeen

BADAI LAUT SELATAN said...

Petikan ijab qabul nya asli kah? Kok kata 'meniko','puniki' dan 'dalem' agak janggal, atau emang perasaanku yg keliru.

harum sekartaji said...

hasil ngrekam tuh :-)
ato telingaku salah ngetik transkripnya ya :p

Maztrie™ Utroq said...

Tak salah mBakk, cuman kurang tepat aja.... (maaf #nyamber lhooo)
Yang mungkin bisa lebih dibedakan adalah dialeg vokal menuliskannya...

Sebagai contoh kata "meniko" dalam gaya bahasa Jawa Surakarta dan Yogyakarta tulisan yang benar adalah "menika" (w/ "A")

Hal ini untuk lebih gampang membedakannya adalah begini:
Kata LORO yang berarti DUA tentu lain dengan kata LARA yang berarti "sakit", atau kata CORO yang berarti "kecoak" tentu beda dengan kata CARA yang berarti (semacam) metode

Gaya tulisan itu ada di kasunanan pun kasultanan (Solo n Jogja).
So kalo tulisan itu dipake oleh gaya Banyumasan pun Surabaya'an ku rasa akan syah-syah saja...

Sekali lagi itu adalah untuk kata "meniko". Sedang untuk kata "puniki' dan 'dalem' entah yang dimaksud kurang pas oleh komentator sebelumnya itu dimana yaa..? Aku kok ngeliatnya fine-fine aja sih...

Mungkin untuk lebih jelasnya mBak Harum bisa discuss dengan Dab Irvan-Peleth tuh...
nuwun...

BADAI LAUT SELATAN said...

Hehehe. Aku kira tadinya lafal 'meniko' itu seharusnya ditulis 'puniko', jadi akan sebanding dg penggunaan kata 'puniki' yg sama dg 'meniki'.
Kata 'dalem' menunjukkan diri Sultan, jadi harus di tulis Dalem, biasanya jika dilafal orang Jawa asli/Yogya akan tertulis 'nDalem'.
Demikian maksudku. Saya kembalikan pd teks aslinya dech yg diberikan protokoler keraton kpd mempelai pria. Hehehe.

Irfan Yusuf said...

mas gotrek dan mas badai, sekedar tambahan sebelum mas yudhonegoro dinikahkan dia diangkat dl jd salah satu abdi dalem di kraton, so otomatis dia "bawahan" sultan to? saya msh ada rekaman suara aslinya, kpn2 saya share dey :)