October 14, 2011

wakatobi: semuanya laut!



@ bandara matahora

pheeew...akhirnya bisa posting foto-foto yang terbengkalai 7 bulan. 
ini wakatobi: wangi-wangi - kaledupa - tomia - binongko

tiang tinggi @ FRS menami
wangi-wangi sunset


lelah karena terbang subuh2 dari jakarta dengan dua kali transit
di makassar dan bau-bau terbayar lunas,
begitu pesawat kecil express air memasuki udara perairan wakatobi.
lalu mendarat di bandara matahora.
biruuuuu bening!

June 01, 2011

Merajut Asa Pasca Erupsi - Garuda Magz

text: harum
photo: Irfan Yusuf

versi cetak ada di sini ya.



“Monggo pinarak,” (mari mampir) undang seorang nenek. Tubuh rentanya berdiri di atas tanah lapang yang berisikan puing-puing bangunan. Tanah inilah yang disebutnya ”rumah”. 
Tukirah Kromoyoso, wanita berusia 65 tahun yang berprofesi sebagai bidan, hanyalah satu di antara ribuan manusia yang harus kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian pascaerupsi Gunung Merapi. Dan seperti kebanyakan orang yang hidup turun-temurun di lereng Merapi, penduduk Cangkringan, Sleman, ini tetap bersahabat dengan sang gunung. “Jangan sampai kita berkata hal yang buruk tentang Merapi karena saat ini ia sedang berbenah,” ujarnya sambil bersimpuh di atas reruntuhan rumahnya, ”Pada waktunya nanti ia akan memberikan kesuburan bagi tanah ini.”

Merapi sedang ”berbenah ”dan ia akan memberikan ”kesuburan”. Barangkali ini optimisme, atau mungkin sekadar sugesti untuk meyakinkan diri sendiri akan hari esok yang lebih baik. Yang jelas, Mbah Kromo bersikukuh untuk menata ulang hidupnya di lereng gunung yang pernah nyaris membunuhnya.

Pada saat Merapi sedang mengamuk pada awal Oktober hingga November 2010 lalu, Mbah Kromo bersama suami serta anak cucunya terpaksa mengungsi, berpindah-pindah dari satu shelter ke shelter lain. Diameter jarak aman dari puncak Merapi yang bertambah luas dalam hitungan singkat memaksa mereka merelokasi diri hingga sembilan kali. Lima ekor sapi dan rumah seisinya ditinggalkan. “Saya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Apabila saat kembali nanti masih utuh, itu adalah rezeki kami. Tapi kalau lenyap, berarti bukan lagi menjadi bagian kami,” ujarnya. Mbah Kromo telah mendapatkan jawabannya: seluruh hartanya hangus tersapu awan panas.


May 23, 2011

The Mirror Never Lies: Cermin Besar itu Bernama Laut

sehari setelah kembali dari wakatobi, saya beruntung mendapat undangan dari WWF Indonesia untuk melihat pemutaran perdana film The Mirror Never Lies garapan sutradara muda Kamila Andini. film yang berkisah tentang kehidupan suku bajo itu cukup membuat mata saya segar dan...kangeeeen dengan lautan wakatobi :-)

beruntung juga saya bisa ngobrol dekat dengan ketiga pemain cilik yang asli bajo itu: eko, inal, dan gita -  karena pendamping mereka, zukni, adalah teman seperjalanan tim saya ketika kami berada di sana selama 10 hari. malam yang kocak...saya dan ria, temen nyelem yang bantu ngerjain fotografi underwater di wakatobi, gak berhenti-berhenti tertawa karena tingkah mereka :-)  review ini udah nongol di majalah DiveMag edisi Mei 2011, saya posting ke sini yaaa...

==

Harum Sekartaji for DiveMagIndo / Photos courtesy of SET Film

Belum genap dua hari menginjakkan kaki di ibukota setelah hampir dua minggu ‘mengapung’ di lautan Wakatobi, mata saya kembali dimanjakan oleh keindahan alamnya melalui film The Mirror Never Lies (TMNL) atau Laut Bercermin. Film hasil kolaborasi Pemerintah Kabupaten Wakatobi, WWF Indonesia dan SET Film ini menjadi debut sutradara muda Kamila Andini, dan diputar perdana dalam acara media screening yang berlangsung pada 26 April lalu. TMNL menjanjikan sebuah tontonan alternatif yang bermutu dan mendidik, di tengah absennya film-film asing di tanah air.

Dengan mengambil setting di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, film yang diproduseri Nadine Chandrawinata dan Garin Nugroho ini tidak hanya menceritakan sebuah drama keluarga yang sarat makna namun juga memaparkan keindahan alam dan keanekaragaman bahari Wakatobi lewat gambar-gambar indah yang disuguhkan dalam setiap adegan: langit biru, laut bening, terumbu warna-warni. Selain itu TMNL sekaligus memperkenalkan kehidupan nyata serta kearifan lokal Suku Bajo yang sangat sederhana namun penuh kebijakan.


TMNL berkisah tentang Pakis (Gita Novalista), seorang anak Bajo berusia 12 tahun yang berjuang keras untuk mencari ayahnya yang hilang di laut. Sebagai pelaut ulung, Suku Bajo seperti ditakdirkan untuk lahir, hidup, dan mati di lautan luas. Pakis percaya bahwa sang ayah masih hidup dan suatu hari akan kembali pulang, sehingga ia setia menunggu sambil sesekali melakukan Nginda’ ka Carummeng - menggunakan cermin dan air yang dipercaya dapat melihat keberadaan orang dan benda yang hilang. Namun bayangan ayahnya tidak pernah terlihat.

Konflik muncul ketika Tayung (Atiqah Hasiholan), ibunya, seringkali membuyarkan harapan Pakis dengan mengatakan bahwa ayahnya telah mati, namun sekaligus menyangkal kenyataan bahwa suaminya telah pergi dengan menutupi wajahnya dengan bedak. Harapan Pakis pun terombang-ombing. Bersama Lumo (Eko) dan Kutta (Zainal), Pakis terus berusaha mencari jawaban dari laut Wakatobi.

Suasana penuh emosi bertambah dengan kehadiran Tudo (Reza Rahadian), seorang peneliti lumba-lumba, dalam kehidupan mereka. Muncullah cinta segi empat antara Tayung-Tudo-Pakis-Lumo yang dikemas apik dengan menghadirkan dialog-dialog bermakna, jauh dari roman picisan. Mereka berempat yang memiliki interpretasi berlainan mengenai kehidupan bahari dan keganasan laut, pada akhirnya tanpa sadar memetik pelajaran berharga dari indahnya dunia bawah laut, bersama-sama.

Tidak perlu saya uraikan dengan rinci jalan ceritanya, karena hal yang paling menarik sebenarnya adalah keberhasilan TMNL menyisipkan pesan-pesan lingkungan ke berbagai dialog tanpa terasa menggurui, sehingga cerita dramanya tetap mengalir dengan halus. Konflik antara Pakis dengan ibunya yang sedang memuncak sempat dibumbui dengan adegan kemarahan si gadis kecil ketika sang Ibu menyuguhkan ikan berukuran kecil untuk makan siang. “Kata Bapak, ikan yang masih kecil tidak boleh ditangkap,” ujarnya. Pendirian Pakis diperkuat dengan adegan pencurian ikan kecil di pasar, yang kemudian ia kembalikan ke laut.

April 24, 2011

wakatobi: kabupaten lautan

kapal menami-naik sampan bajo-sampan di hoga-
anak bajo-morning dive-bahan kasuami-
dermaga runduma-kain kaledupa

sepuluh hari menikmati kabupaten yang 97% wilayahnya laut. yes...wakatobi atawa wangi-wangi, kaledupa, tomia, binongko menjadi tempat kerja saya pada 14-23 april 2011 lalu. beruntunglah saya yang sedang membantu tim sebuah lembaga, sehingga bisa menyusuri keempat pulau utama ditambah pulau-pulau luar yang jaraknya gak kira-kira: runduma, anano, tuwu-tuwu (yang sering disebut juga cowo-cowo), kentiole dengan KLM FRS Menami milik WWF-TNC serta ngebut antar pulau dengan speedboat Coremap II.

March 16, 2011

“Mutiara Bawah Laut” Ambon Manise

Artikel yang pernah dimuat majalah scuba diver australasia - edisi indonesia tahun lalu. kolaborasi tulisan saya dan foto-foto ria qorina lubis. enjoooy  :-)

Hangatnya sinar mentari pagi yang muncul dari balik horison di tengah laut luas mulai menyapa. Waktu menunjukkan pukul 05:30 WITA, menandakan bahwa beberapa saat lagi pesawat yang membawa kami dari Jakarta akan segera mendarat di Bandar Udara Pattimura, Ambon. Ya, keindahan landscape dan bawah laut ibukota Provinsi Maluku itu akan kami jelajahi selama sepuluh hari, menggoreskan kata-kata dalam catatan kami dan mengabadikan foto-foto indahnya. 

Maluku dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah (spice islands) karena hasil buminya berupa cengkeh, pala, dan kenari yang melimpah. Selain itu hasil alam lainnya juga teramat kaya, misalnya kelapa, coklat, kopra, kayu, karet, dan tentu saja ikan dan mutiara.  Kota Ambon sendiri, dengan luas sekitar 377 km2, dikelilingi laut dan teluk sehingga kekayaan lautnya menjadi potensi wisata yang sangat besar, selain juga kekayaan sejarah, budaya dan keragaman kuliner. Dapat dibayangkan, banyak sekali lokasi yang belum pernah dieksplorasi menjadi titik penyelaman. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah, untuk meningkatkan akses serta fasilitas wisata Maluku, khususnya Ambon.   

Sebelum mulai jadual menyelam esoknya, waktu istirahat sehari kami isi dengan mengunjungi pantai-pantai yang terkenal bening dan eksotik. Pantai Liang di bagian timur laut Leihitu yang memiliki garis pantai sepanjang 4 km menjadi tujuan pertama. Benar kata orang. Pantai ini memiliki pasir putih dan dipenuhi pepohonan rindang. Beberapa buah kelapa muda yang baru saja dipetik langsung dari pohonnya menemani kami menikmati semilir udara laut siang itu. Pantai Natsepa dengan rujaknya yang sangat terkenal, Pantai Pintu Kota yang menjadi simbol ‘pintu masuk’ Kota Ambon, serta Pantai Namalatu yang tenang cukup menyegarkan badan setelah melalui penerbangan panjang. Pada sore hari kami habiskan waktu di landmark Kota Ambon, yaitu Patung Christina Martha Tiahahu, yang terlihat bagaikan sedang menatap matahari terbenam di seberang.