March 16, 2011

“Mutiara Bawah Laut” Ambon Manise

Artikel yang pernah dimuat majalah scuba diver australasia - edisi indonesia tahun lalu. kolaborasi tulisan saya dan foto-foto ria qorina lubis. enjoooy  :-)

Hangatnya sinar mentari pagi yang muncul dari balik horison di tengah laut luas mulai menyapa. Waktu menunjukkan pukul 05:30 WITA, menandakan bahwa beberapa saat lagi pesawat yang membawa kami dari Jakarta akan segera mendarat di Bandar Udara Pattimura, Ambon. Ya, keindahan landscape dan bawah laut ibukota Provinsi Maluku itu akan kami jelajahi selama sepuluh hari, menggoreskan kata-kata dalam catatan kami dan mengabadikan foto-foto indahnya. 

Maluku dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah (spice islands) karena hasil buminya berupa cengkeh, pala, dan kenari yang melimpah. Selain itu hasil alam lainnya juga teramat kaya, misalnya kelapa, coklat, kopra, kayu, karet, dan tentu saja ikan dan mutiara.  Kota Ambon sendiri, dengan luas sekitar 377 km2, dikelilingi laut dan teluk sehingga kekayaan lautnya menjadi potensi wisata yang sangat besar, selain juga kekayaan sejarah, budaya dan keragaman kuliner. Dapat dibayangkan, banyak sekali lokasi yang belum pernah dieksplorasi menjadi titik penyelaman. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah, untuk meningkatkan akses serta fasilitas wisata Maluku, khususnya Ambon.   

Sebelum mulai jadual menyelam esoknya, waktu istirahat sehari kami isi dengan mengunjungi pantai-pantai yang terkenal bening dan eksotik. Pantai Liang di bagian timur laut Leihitu yang memiliki garis pantai sepanjang 4 km menjadi tujuan pertama. Benar kata orang. Pantai ini memiliki pasir putih dan dipenuhi pepohonan rindang. Beberapa buah kelapa muda yang baru saja dipetik langsung dari pohonnya menemani kami menikmati semilir udara laut siang itu. Pantai Natsepa dengan rujaknya yang sangat terkenal, Pantai Pintu Kota yang menjadi simbol ‘pintu masuk’ Kota Ambon, serta Pantai Namalatu yang tenang cukup menyegarkan badan setelah melalui penerbangan panjang. Pada sore hari kami habiskan waktu di landmark Kota Ambon, yaitu Patung Christina Martha Tiahahu, yang terlihat bagaikan sedang menatap matahari terbenam di seberang. 




Aquila Shipwreck yang terletak di kompleks Pertamina Teluk Ambon menjadi lokasi penyelaman pertama. Bersama teman-teman dari Pari Dive Club dan Blue Rose Dive Center, kami menggunakan kapal cepat mengarungi teluk selama kurang lebih 15 menit menuju titik penyelaman. Pelampung bulat berwarna cerah di atas permukaan laut menjadi tanda bahwa kami sudah sampai tujuan. Seutas rantai panjang terhubung di pelampung sehingga bisa memandu kami menuju badan kapal. Kabarnya, kapal kargo Belanda yang membawa muatan saat Perang Dunia Kedua tersebut karam akibat ditembak beberapa saat sebelum merapat di pelabuhan. Pada kedalaman hingga 30 meter, kami temui badan kapal telah dipenuhi soft coral dan hard coral aneka rupa, tentu dengan berbagai jenis makhluk yang menghuni, misalnya catfish yang bergerombol di bagian bawah kapal. Beberapa bagian seperti jendela berteralis besi masih terlihat bentuk aslinya, tentu dengan balutan karang di setiap jengkal ruangnya. Sayang sekali kejernihan air laut pagi itu tidak terlalu baik, hanya sekitar 10 meter saja. Namun kondisi itu tidak mengurungkan niat kami mengambil foto dokumentasi.

Selanjutnya, kami menuju salahsatu titik penyelaman favorit di Ambon yaitu Hukurila Cave yang terletak di Kecamatan Leitimur Selatan. Karena siang itu arus permukaan cukup kuat, kami melakukan negative entry dan ‘janjian’ bertemu dengan teman-teman pada kedalaman 8 meter di bawah permukaan laut. Bersama-sama kami menuju kedalaman 15 meter dimana telah menunggu pemandangan gua yang sungguh menakjubkan. Gua itu memiliki beberapa pintu masuk dan tumpukan batu besar, memberi kesan spooky namun menakjubkan. Sea fan dan sponge berukuran ekstra besar, berbagai jenis karang, serta gerombolan ikan yang melintas di tengah gua memberi aksen tersendiri dalam foto-foto yang kami ambil, apalagi jarak pandang mencapai 30 meter. Sangat bening! Cuaca cerah dan matahari yang berada tepat di atas bumi menambah keindahan pendaran di sekitar gua bawah laut itu. Seberkas sinar masuk ke dalam memberi isyarat untuk mengabadikan ray of light yang menerpa warna-warni karang.

Masih di sekitar Desa Hukurila, pilihan selanjutnya adalah menyelami Tanjung Haur yang terletak tidak jauh dari titik penyelaman Hukurila Cave. Bongkahan batu-batu besar di tengah laut seakan memberi tanda bahwa di dalam sana ada pemandangan indah yang tidak boleh dilewatkan. Di titik yang wall-nya sangat indah ini, pada kedalaman 10-15 meter saja kami temukan schooling of Travelly, ikan pelagic berukuran besar, Triggerfish, dan Mackerel, selain Seafan besar serta Whip coral. Titik selam yang dikelilingi perbukitan itu mudah dijangkau dengan kapal cepat dari pantai-pantai di sekitar Hukurila ataupun dari Pantai Santai.

 

Bagi Anda yang menyukai binatang kecil dan fotografi makro, jangan lewatkan titik penyelaman yang satu ini: Laha! Ya, di berbagai literatur dan catatan perjalanan dari teman lain, saya telah mengenal Laha sebagai salahsatu lokasi favorit bagi para penggemar muck diving. Lokasi penyelaman yang terletak di Desa Laha, Kecamatan Teluk Ambon ini cukup dekat dengan Bandara Pattimura. Ia menjanjikan hamparan surga bagi fotografer makro. Hanya pada kedalaman 10 hingga 15 meter kami temukan banyak sekali biota laut yang umum seperti moray eel, scorpion fish, puffer fish, octopus, cuttlefish, pipefish, nudibranch. Namun keistimewaan di lokasi ini, kami juga temukan stone fish berukuran super mini dan mandarin fish yang sulit sekali ditemukan di daerah lain di Indonesia.

Masih bagi penggemar muck dive, kami temukan satu titik menarik di tepi jalan raya daerah Tapal Kuda. Hanya pada kedalaman 5-15 meter saja kami temukan banyak soft coral yang masih sehat, ikan ekor kuning, dan tentu saja makhluk imut seperti nudibranch, udang, dan kepiting. Di sini pula kami temui seekor ikan jenis white pipefish (Siokunichthys nigrolineatus) yang belum kami lihat sebelumnya. Bentuknya yang pipih panjang menyerupai cacing kecil hanya berdiameter kurang dari 1 cm dengan panjang tak lebih dari batang korek api. Lokasi penyelaman ini sangat mudah dijangkau karena tidak perlu naik kapal. Entri dilakukan dari dermaga kecil yang berada di tepi jalan raya. Karena terletak di depan rumah dinas Pangdam XVI Pattimura, maka titik penyelaman tanpa nama ini kami beri nama Muis Point, mengambil nama Bapak Mayjen TNI M. Noer Muis yang sedang menjabat sebagai Pangdam pada saat itu. Tanjung Mahia menjadi pemberhentian terakhir dimana kami temui kekayaan bawah laut berupa travellyfish, seafan, dan anemonefish yang beragam.

Hari terakhir di Ambon kami habiskan dengan land tour, sambil menepati no flight time. Gong Perdamaian di pusat kota yang kini menjadi landmark terbaru Ambon menjadi pilihan kunjungan. Pada malam hari, taman di sekitar gong ini sekarang menjadi tujuan kongkow anak muda Kota Ambon. Wisata sejarah yang tak boleh dilewatkan adalah benteng Amsterdam yang dibangun abad ke 17. Bangunan yang dulu digunakan sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah ini sekarang masih kokoh berdiri di tepi laut.

Tak lupa kami menikmati sedapnya ikan asar kuah kuning yang dimakan sebagai lauk papeda (bubur sagu khas Maluku dan Papua) dan menghirup wanginya kopi guraka bertabur kenari di café Sibu-sibu, yang dindingnya dipenuhi wajah terkenal di dunia yang ternyata adalah keturunan Maluku! 

Kekayaan flora fauna bawah laut Ambon bagaikan mutiara yang tersimpan rapat. Budaya dan sejarah masyarakatnya pun merupakan potensi yang sangat besar. Apabila diasah terus maka akan semakin banyak pemerhati wisata serta penyelam domestik maupun mancanegara yang mengunjungi keindahannya.