May 23, 2011

The Mirror Never Lies: Cermin Besar itu Bernama Laut

sehari setelah kembali dari wakatobi, saya beruntung mendapat undangan dari WWF Indonesia untuk melihat pemutaran perdana film The Mirror Never Lies garapan sutradara muda Kamila Andini. film yang berkisah tentang kehidupan suku bajo itu cukup membuat mata saya segar dan...kangeeeen dengan lautan wakatobi :-)

beruntung juga saya bisa ngobrol dekat dengan ketiga pemain cilik yang asli bajo itu: eko, inal, dan gita -  karena pendamping mereka, zukni, adalah teman seperjalanan tim saya ketika kami berada di sana selama 10 hari. malam yang kocak...saya dan ria, temen nyelem yang bantu ngerjain fotografi underwater di wakatobi, gak berhenti-berhenti tertawa karena tingkah mereka :-)  review ini udah nongol di majalah DiveMag edisi Mei 2011, saya posting ke sini yaaa...

==

Harum Sekartaji for DiveMagIndo / Photos courtesy of SET Film

Belum genap dua hari menginjakkan kaki di ibukota setelah hampir dua minggu ‘mengapung’ di lautan Wakatobi, mata saya kembali dimanjakan oleh keindahan alamnya melalui film The Mirror Never Lies (TMNL) atau Laut Bercermin. Film hasil kolaborasi Pemerintah Kabupaten Wakatobi, WWF Indonesia dan SET Film ini menjadi debut sutradara muda Kamila Andini, dan diputar perdana dalam acara media screening yang berlangsung pada 26 April lalu. TMNL menjanjikan sebuah tontonan alternatif yang bermutu dan mendidik, di tengah absennya film-film asing di tanah air.

Dengan mengambil setting di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, film yang diproduseri Nadine Chandrawinata dan Garin Nugroho ini tidak hanya menceritakan sebuah drama keluarga yang sarat makna namun juga memaparkan keindahan alam dan keanekaragaman bahari Wakatobi lewat gambar-gambar indah yang disuguhkan dalam setiap adegan: langit biru, laut bening, terumbu warna-warni. Selain itu TMNL sekaligus memperkenalkan kehidupan nyata serta kearifan lokal Suku Bajo yang sangat sederhana namun penuh kebijakan.


TMNL berkisah tentang Pakis (Gita Novalista), seorang anak Bajo berusia 12 tahun yang berjuang keras untuk mencari ayahnya yang hilang di laut. Sebagai pelaut ulung, Suku Bajo seperti ditakdirkan untuk lahir, hidup, dan mati di lautan luas. Pakis percaya bahwa sang ayah masih hidup dan suatu hari akan kembali pulang, sehingga ia setia menunggu sambil sesekali melakukan Nginda’ ka Carummeng - menggunakan cermin dan air yang dipercaya dapat melihat keberadaan orang dan benda yang hilang. Namun bayangan ayahnya tidak pernah terlihat.

Konflik muncul ketika Tayung (Atiqah Hasiholan), ibunya, seringkali membuyarkan harapan Pakis dengan mengatakan bahwa ayahnya telah mati, namun sekaligus menyangkal kenyataan bahwa suaminya telah pergi dengan menutupi wajahnya dengan bedak. Harapan Pakis pun terombang-ombing. Bersama Lumo (Eko) dan Kutta (Zainal), Pakis terus berusaha mencari jawaban dari laut Wakatobi.

Suasana penuh emosi bertambah dengan kehadiran Tudo (Reza Rahadian), seorang peneliti lumba-lumba, dalam kehidupan mereka. Muncullah cinta segi empat antara Tayung-Tudo-Pakis-Lumo yang dikemas apik dengan menghadirkan dialog-dialog bermakna, jauh dari roman picisan. Mereka berempat yang memiliki interpretasi berlainan mengenai kehidupan bahari dan keganasan laut, pada akhirnya tanpa sadar memetik pelajaran berharga dari indahnya dunia bawah laut, bersama-sama.

Tidak perlu saya uraikan dengan rinci jalan ceritanya, karena hal yang paling menarik sebenarnya adalah keberhasilan TMNL menyisipkan pesan-pesan lingkungan ke berbagai dialog tanpa terasa menggurui, sehingga cerita dramanya tetap mengalir dengan halus. Konflik antara Pakis dengan ibunya yang sedang memuncak sempat dibumbui dengan adegan kemarahan si gadis kecil ketika sang Ibu menyuguhkan ikan berukuran kecil untuk makan siang. “Kata Bapak, ikan yang masih kecil tidak boleh ditangkap,” ujarnya. Pendirian Pakis diperkuat dengan adegan pencurian ikan kecil di pasar, yang kemudian ia kembalikan ke laut.