June 01, 2011

Merajut Asa Pasca Erupsi - Garuda Magz

text: harum
photo: Irfan Yusuf

versi cetak ada di sini ya.



“Monggo pinarak,” (mari mampir) undang seorang nenek. Tubuh rentanya berdiri di atas tanah lapang yang berisikan puing-puing bangunan. Tanah inilah yang disebutnya ”rumah”. 
Tukirah Kromoyoso, wanita berusia 65 tahun yang berprofesi sebagai bidan, hanyalah satu di antara ribuan manusia yang harus kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian pascaerupsi Gunung Merapi. Dan seperti kebanyakan orang yang hidup turun-temurun di lereng Merapi, penduduk Cangkringan, Sleman, ini tetap bersahabat dengan sang gunung. “Jangan sampai kita berkata hal yang buruk tentang Merapi karena saat ini ia sedang berbenah,” ujarnya sambil bersimpuh di atas reruntuhan rumahnya, ”Pada waktunya nanti ia akan memberikan kesuburan bagi tanah ini.”

Merapi sedang ”berbenah ”dan ia akan memberikan ”kesuburan”. Barangkali ini optimisme, atau mungkin sekadar sugesti untuk meyakinkan diri sendiri akan hari esok yang lebih baik. Yang jelas, Mbah Kromo bersikukuh untuk menata ulang hidupnya di lereng gunung yang pernah nyaris membunuhnya.

Pada saat Merapi sedang mengamuk pada awal Oktober hingga November 2010 lalu, Mbah Kromo bersama suami serta anak cucunya terpaksa mengungsi, berpindah-pindah dari satu shelter ke shelter lain. Diameter jarak aman dari puncak Merapi yang bertambah luas dalam hitungan singkat memaksa mereka merelokasi diri hingga sembilan kali. Lima ekor sapi dan rumah seisinya ditinggalkan. “Saya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Apabila saat kembali nanti masih utuh, itu adalah rezeki kami. Tapi kalau lenyap, berarti bukan lagi menjadi bagian kami,” ujarnya. Mbah Kromo telah mendapatkan jawabannya: seluruh hartanya hangus tersapu awan panas.