text: harum
photo: Irfan Yusuf
versi cetak ada di sini ya.
“Monggo pinarak,” (mari mampir) undang seorang nenek. Tubuh rentanya berdiri di atas tanah lapang yang berisikan puing-puing bangunan. Tanah inilah yang disebutnya ”rumah”.
Tukirah Kromoyoso, wanita berusia 65 tahun yang berprofesi sebagai bidan, hanyalah satu di antara ribuan manusia yang harus kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian pascaerupsi Gunung Merapi. Dan seperti kebanyakan orang yang hidup turun-temurun di lereng Merapi, penduduk Cangkringan, Sleman, ini tetap bersahabat dengan sang gunung. “Jangan sampai kita berkata hal yang buruk tentang Merapi karena saat ini ia sedang berbenah,” ujarnya sambil bersimpuh di atas reruntuhan rumahnya, ”Pada waktunya nanti ia akan memberikan kesuburan bagi tanah ini.”
Merapi sedang ”berbenah ”dan ia akan memberikan ”kesuburan”. Barangkali ini optimisme, atau mungkin sekadar sugesti untuk meyakinkan diri sendiri akan hari esok yang lebih baik. Yang jelas, Mbah Kromo bersikukuh untuk menata ulang hidupnya di lereng gunung yang pernah nyaris membunuhnya.
Pada saat Merapi sedang mengamuk pada awal Oktober hingga November 2010 lalu, Mbah Kromo bersama suami serta anak cucunya terpaksa mengungsi, berpindah-pindah dari satu shelter ke shelter lain. Diameter jarak aman dari puncak Merapi yang bertambah luas dalam hitungan singkat memaksa mereka merelokasi diri hingga sembilan kali. Lima ekor sapi dan rumah seisinya ditinggalkan. “Saya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Apabila saat kembali nanti masih utuh, itu adalah rezeki kami. Tapi kalau lenyap, berarti bukan lagi menjadi bagian kami,” ujarnya. Mbah Kromo telah mendapatkan jawabannya: seluruh hartanya hangus tersapu awan panas.
Letusan Merapi melanda empat kabupaten, yakni Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten. Sabar dan optimis kini menjadi moto hidup mereka yang selamat. Cara pandang masyarakat Jawa terhadap alam menempatkan diri mereka sebagai pribadi yang harus menjalani kehidupan sesuai kehendak Sang Maha Pencipta. Keselarasan hidup sehari-hari dengan alam sekitar menjadi prinsip yang dijunjung tinggi, karena ini merupakan salah satu nilai utama untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Di tengah bencana, tak jarang muncul cerita-cerita berbau mistik dan klenik yang mungkin tidak masuk di akal manusia modern, namun jika ditelaah sebenarnya mengandung nilai-nilai universal yang luhur, setidaknya bagi manusia Jawa. Penduduk setempat percaya Penguasa akan murka atas perilaku manusia yang menyimpang dari kaidah. Karena itulah erupsi Merapi dipandang sebagai peringatan dari Tuhan melalui alam.
Dalam buku etnografi klasiknya, The Religion of Java, antropolog Clifford Geertz menerangkan kehidupan keagamaan masyarakat Jawa. Di kalangan petani, simpulnya, penyebutan gunung, pohon, dan isi alam lainnya sebagai ”si mbah” yang berarti tetua merupakan cara masyarakat Jawa menghidupkan alam dan mendekatkan diri kepadanya.
Kearifan lokal telah menyatu menjadi kebudayaan yang akhirnya menjadi dasar pembentukan perilaku sosial. Aplikasinya antara lain berupa keinginan menghindari konflik, menjalani hidup yang selaras dengan alam, tidak melakukan tindakan yang merusak lingkungan, dan selalu memohon perlindungan kepada Sang Pencipta. Keyakinan akan adanya kekuasaan yang mahabesar inilah yang meringankan langkah warga saat harus berhadapan dengan ujian berat seperti amukan Merapi. Itu juga sebabnya warga tidak pernah takut untuk selalu kembali, membersihkan sisa-sisa rumah dan kebun, serta memupuk harapan positif di masa depan.
Bagi Mbah Kromo, yang saat ini masih menghuni penampungan di Sleman, keikhlasannya telah meringankan kakinya, secara harfiah maupun spiritual. Sudah empat kali sejak mengungsi Mbah Kromo berjalan kaki menyusuri rute berkilo-kilo meter selama tujuh jam demi menengok sisa-sisa tempat tinggalnya.
“Sekarang telinga saya sudah ditutup oleh Tuhan, tidak pernah lagi takut mendengar suara gemuruh. Saya sekarang sudah merasa tenang, walaupun masih di pengungsian. Dan sangat bersyukur karena masih kuat dan berani berjalan kaki kemari setiap ada keinginan untuk menengok rumah,” ujarnya di sela tawa renyah. “Saya kembali ke sini untuk membersihkan rumah, sehingga jika nanti sudah aman rumah bisa dibangun kembali, bisa ditempati lagi, dan kami bisa berusaha lagi.”
Meski banjir lahar kadang masih menerjang, warga sekitar Merapi kini mulai membangun hidup mereka. Pohon kembali di tanam, pagar didirikan, dan sawah dipetakan. Di tempat yang lain, Candi Borobudur telah dibersihkan dari debu dan siap mendulang turis. Tak lama lagi, pos pengamatan Merapi juga akan kembali didatangi pelancong yang ingin menyaksikan aktivitas vulkanis di bibir kawah. Merapi memang bukan sekadar gunung. Ia adalah penyedia kesuburan, sandaran hidup, dan situs wisata. Gunung yang ditakuti sekaligus dicintai.
No comments:
Post a Comment