September 10, 2013

Istanbul: Curi-curi waktu di kota tua

Salah satu hal yang paling saya syukuri dari pekerjaan sebagai staf komunikasi di organisasi non-profit adalah kesempatan traveling yang berlimpah. Jika memungkinkan, saya sering curi-curi waktu dan menyisipkan day-off diantara pekerjaan untuk menjelajah sendiri lokasi tugas. Namun, kalaupun bukan karena tugas kerja, saya tetap punya waktu untuk traveling sendiri karena jatah cuti relatif lebih banyak dibandingkan yang dimiliki staf perusahaan lain - bayangkan, antara 20 hingga 35 hari setahun! Dari Sabang hingga Papua, dari Flores hingga Sulawesi, banyak darinya merupakan hasil 'extend' hari kerja di lapangan. Tapi lokasi tugas kali ini sungguh berbeda dari tempat-tempat eksotis yang pernah saya kunjungi.


Blue Mosque di saat senja 
Burung di atas teras penginapan, berlatar Hagia Sophia



Ya, Istanbul, Turki adalah tujuan berikutnya! Satu-satunya negara di muka bumi ini yang wilayahnya berada di Asia dan Eropa. Terbayang megahnya lantai Hagia Sophia yang sudah lebih dari sepuluh tahun ingin saya injak, yang biasanya hanya saya lihat di buku atau tayangan National Geographic Channel.

Sebagai penggemar bangunan bersejarah dan budaya dunia, jatah seminggu di sana tidak saya sia-siakan. Begitu perintah tugas tiba, saya segera memilih hari 'kejepit' diantara hari kerja untuk menjelajah Sultanahmet, bagian kota tua Istanbul. Kamar di guesthouse murah meriah pun saya pesan karena kamar dari kantor hanya tersedia di hari kerja resmi. Berbagai tulisan di internet saya baca, terutama tentang tips aman menjelajah Istanbul bagi perempuan yang bepergian sendiri. Tidak lupa, saya tandai google map di smartphone dengan lokasi-lokasi yang ingin dikunjungi, termasuk arah menuju ke tempat tersebut dari hostel tempat menginap. Enak sekali bepergian jaman sekarang ya, semua bisa dilakukan secara digital. Teringat saat mulai senang traveling di awal kuliah dulu...peta Indonesia dan fotokopian buku Lonely Planet-lah yang kotor dicorat-coret :p


Dengan empat hari kerja pada Senin hingga Kamis, saya memutuskan untuk berangkat lebih awal pada Jumat sebelumnya dan kembali ke Jakarta hari Minggu berikutnya. Jadi, saya akan berada di Istanbul selama sepuluh hari dengan ENAM hari menjelajah, tentu dengan resiko repot berpindah dari budget guesthouse ke hotel berbintang jatah kantor, lalu kembali lagi setelah pekerjaan selesai. Belum lagi bawaan yang harus disesuaikan antara pakaian resmi, jas, dan sepatu berhak tinggi dengan kaos, celana jeans, dan sepatu keds. Jadilah saya meninggalkan ransel kesayangan di kamar, ia harus rela digantikan oleh koper yang cukup besar! Tapi kerepotan itu pasti sebanding dengan kepuasan di akhir perjalanan.





Jalanan Istanbul

Sore hari di antara Grand Bazaar dan Spice Bazaar

Pagi yang hangat di Bandara Ataturk, Istanbul. Setelah membayar visa on arrival sebesar USD 25 dan mengambil koper, saya diantar ke Terrace Guesthouse di daerah Sultanahmet tempat menginap selama curi-curi waktu diantara kerja. Hostel dan guesthouse di sana umumnya bisa menyediakan kendaraan untuk menjemput dan mengantar ke bandara. Kalau hanya membawa ransel, saya pasti lebih memilih untuk menggunakan trem. Selama perjalanan, Mustafa, sopir yang baik hati mengobrol sambil sesekali menyodorkan sekotak lokum berwarna-warni. Saya ambil satu demi menghormatinya. Kudapan super manis yang biasa disebut turkish delight itu meleleh pelan di mulut saya, tapi hanya satu gigit. Aduh maaf ya Mustafa, saya benar-benar tak bisa menelan makanan manis.

Dogan, sang pemilik hotel, dan Kemal, asistennya, menyambut saya seperti bertemu teman lama. Bagaimana tidak, selama dua bulan saya rajin mengirimkan email untuk bertanya-tanya dan selalu mereka jawab dengan baik, informatif, dengan bahasa yang ramah dan menyenangkan. Benar seperti janjinya di email terakhir sebelum berangkat, saya mendapat kamar nyaman di lantai dua. Dengan teras pribadi menghadap Hagia Sophia, televisi (yang akhirnya tidak pernah saya nyalakan), AC (yang juga jarang saya nyalakan), dan free breakfast setiap pagi di rooftop hostel itu. Uhm..semua tempat menginap di daerah Sultanahmet ini pada umumnya memiliki ruang makan di lantai paling atas, sehingga tamu bisa menyantap sarapan sambil menikmati pemandangan 360 derajat yang menyuguhkan keindahan Blue Mosque, Hagia Sophia, dan Marmara Sea. Tak jarang, burung-burung camar akan menemani sarapan kita di rooftop!



Si penunggu sarapan :-)

Berbekal peta Sultanahmet dari Dogan (hehe...akhirnya peta manual tetap paling enak dibawa) hari itu saya habiskan berkeliling kawasan Blue Mosque dan Hagia Sophia yang hanya berjarak 5 menit perjalanan - dengan kaki. Blue Mosque atau Sultanahmet Camii dibangun pada tahun 1609-1616, selama pemerintahan Ahmed I. Masjid yang memiliki enam menara ini dinding bagian dalamnya dipenuhi tatakan marmer warna biru. Ketika mengelilingi bagian luar bangunan, saya terkesan dengan deretan tempat wudhu yang setiap krannya memiliki tempat duduk permanen. Ooh..ternyata begitu cara mereka menyucikan diri sebelum masuk ke dalam, sambil duduk! Beda bangsa beda kebiasaan.

Begitu menginjak halaman dalam masjid dari arah Hippodrome, saya kaget melihat antrian turis dari berbagai bangsa sudah mengular hampir menyentuh pintu keluar. Waks! Seketika saya mengurungkan niat masuk dan hanya mengintip dari jendela-jendela tinggi besar. Sambil berjinjit kepayahan, saya lihat kerumunan turis di dalam masjid sedang berfoto-foto. Waduh, kalau begini caranya, saya pasti kerepotan mengambil posisi strategis di dalam. Selain badan saya kecil sehingga tertutup badan turis lain yang kebanyakan 'bule' tinggi besar, saya juga tidak akan bisa menikmati kesunyian di sana karena ramainya pengunjung. 


Masjid yang masih aktif digunakan ibadah lima kali sehari ini memang terbuka untuk umum pada jam-jam diantara waktu sholat. Saat waktu sholat tiba, masjid akan ditutup selama kurang lebih 90 menit. Cukup lama saya menghabiskan waktu di halaman Blue Mosque, mengambil beberapa foto dan mengobrol dengan Fatima, seorang pengunjung dari Palestina. Tak lama terdengar adzan dzuhur, dan antrian turis mulai mereda. Saya tutupi kepala dengan pashmina yang melingkar di bahu, saya keluarkan KTP, dan datangi penjaga pintu masuk. "I'm a moslem, look here's my ID. Can I come in?," yang segera dibalas dengan anggukan. Haha! Baru kali ini saya merasa ada gunanya kolom 'agama' di KTP :-D. Nah, kalau begini, nyaman sekali berada di dalam Blue Mosque tanpa 'terhalangi' turis lain. Tenang, damai...


Di dalam Blue Mosque


Halaman luar Blue Mosque

Di dalam Blue Mosque

Hagia Sophia di seberangnya, adalah salah satu tempat impian saya selain Macchu Picchu. Tapi lagi-lagi nyali saya ciut oleh antrian panjang manusia berlabel turis di luar pintu masuknya. Hmm...saya harus pintar-pintar mencari tahu waktu tersepi untuk berkunjung. Sambil ngemil chestnut dan jus delima seharga 5 TL yang banyak dijual di halaman museum itu, saya amati bangunan megah tersebut dari luar. Kamera saya tidak menyia-nyiakan perpaduan langit sore berwarna biru terang dan daun-daun musim gugur yang kekuningan. Gagal masuk ke Hagia Sopia, saya menyeberangi jalur trem dan masuk ke Basilica Cistern atau Yerebatan Sarayi. 10 TL saya keluarkan untuk mendapat tiket memasuki bekas waduk yang dibangun pada abad 6 M itu. Bangunan seluas 138 x 64,6 meter itu dulunya berfungsi sebagai sumber pengairan kota Istanbul pada jaman pemerintahan Kaisar Yustinianus I. Sebanyak 336 pilar marmer memenuhi ruangan bawah tanah yang dikelilingi tembok setebal 3,5 meter itu. Wow! satu lagi arsitektur kuno menakjubkan yang masih bertahan hingga masa modern.     


Basilica Cistern

Halaman luar Hagia Sophia

Sore itu saya habiskan di taman rindang yang berada di depan Topkapi Palace. Merebahkan tubuh mungil saya di atas rumput tebal, menyelonjorkan kaki yang mulai pegal, dan mengobrol dengan Sun Hee, teman baru dari Korea Selatan yang saya temui ketika sedang berjalan di dalam Topkapi. Salah satu hal yang saya sukai dari bepergian sendiri ke tempat asing adalah kesempatan lebih besar untuk bertemu dan mengobrol dengan teman-teman baru yang ditemui di perjalanan. Saya jadi teringat pertemuan dengan seorang wisatawan Israel ketika saya sedang berada di Bangkok. "I really want to visit your beautiful country, but I can't because of political reasons," katanya. Padahal dari semua teman yang saya temui di perjalanan, hampir seluruhnya memiliki visi yang sama: berbagi cerita tentang negeri mereka dan belajar dari budaya negeri lain. Sayang sekali...

Anyway...setelah melewatkan malam di kamar guesthouse yang dipenuhi kain tradisional khas Turki, ditemani bulan purnama yang mengintip dari teras kamar, pagi itu saya terbangun karena kedinginan. Padahal pendingin ruangan saya matikan. Hmm..pantas saja, angka 17 derajat celcius terlihat di smartphone saya, menampakkan suhu yang lebih rendah daripada suhu terdingin yang hanya saya temui ketika sedang mudik ke Jogja di bulan Juli atau Agustus. Saya sengaja memulai sarapan ketika ruang makan masih sepi, agar mendapat meja di tingkat paling atas - lokasi favorit para tamu. Seorang ibu setengah baya yang biasa dijuluki 'the breakfast lady' oleh tamu lain tampak sedang menyiapkan sarapan. Walaupun tidak bisa berbahasa Inggris, ibu ini sangat sigap menanyakan kekurangan dan keinginan para tamu. Tentu dengan bahasa tubuh yang lucu.


Sekeranjang roti dan sepiring telur rebus, ketimun, tomat, olive, anggur dan apel menjadi sarapan saya pagi itu. Keju, yoghurt, jus cherry dan teh manis juga menjadi pilihan tambahan untuk menyiapkan energi berjalan kaki seharian. Sekelompok wisatawan dari Polandia dan seorang sutradara film dari Cyprus menemani sarapan dengan obrolan seru. Sebelum jam 9 pagi, saya sudah berada di depan loket pintu masuk Hagia Sophia dan membayar 25 TL.



Meja makan saya berlatar Blue Mosque

Para pengganggu makan pagi :-p

Akhirnya...Hagia Sophia, salah satu museum di dunia yang paling banyak dikunjungi, selain merupakan monumen seni arsitektur terpenting sepanjang sejarah. Bangunan yang berdiri saat ini adalah kontruksi ketiga, dibangun dengan gaya arsitektur berbeda walaupun menempati lokasi yang sama dengan dua bangunan sebelumnya. Bangunan aslinya dibangun selama hampir 6 tahun (532-537) pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus, berfungsi sebagai gereja. Setelah 916 tahun, bangunan tersebut beralih fungsi menjadi masjid ketika Istanbul dikuasai oleh Fatih Sultan Mehmed dan dijadikan museum sejak 1935.

Di tengah luasnya ruang utama, saya terkesiap melihat indahnya interior. Sepasang kaligrafi raksasa bertulis "Allah" dan "Muhammad" mengapit lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus di atas altar (dan mimbar imam). Kaligrafi Arab masih bertebaran di seluruh sisi bangunan, tak kalah ramai dengan lukisan-lukisan mozaik yang diambil dari cerita Alkitab. This was my best moment. Sepertinya
 saya akan kembali ke tempat ini sebelum pulang ke Jakarta.       


Dari lantai atas Hagia Sophia

ruang utama Hagia Sophia

dari lantai atas

Puas mengisi perut dengan lamb kebab di Meshur Sultanahmet Koftecisi yang berada tak jauh dari museum, saya melanjutkan jalan kaki ke daerah Eminonu, tepatnya ke stasiun kereta api Sirkeci. Tujuan utama saya sebenarnya hanya menanyakan jadual pertunjukan Sema dan memesan tiket pertunjukan berikutnya, namun ternyata stasiun tua yang dibangun pada tahun 1890 itu menyita perhatian saya lebih lama. Jalur kereta api Orient Express yang menghubungkan Paris dengan Istanbul terkenal sebagai simbol perjalanan paling romantis pada jamannya, hingga penulis tersohor Agatha Christie menjadikan jalur ini sebagai latar salah satu karyanya; Murder on the Orient Express.   

Saya masuk ke ruang utama yang pada tiap Selasa dan Jumat malam dijadikan tempat pertunjukan Sema atau whirling sufi, upacara tarian sufi yang dipopulerkan oleh Maulana Jalaludin Rumi - salah satu penyair favorit saya selain Rabindranath Tagore dan Kahlil Gibran. Sinar matahari yang masuk ke celah kaca patri menyuguhkan kesan elegan dan magis, saya seperti dibawa kembali ke jaman Ottoman. 
Stasiun Sirkeci yang dirancang oleh arsitek Jerman A. Jasmund ini memiliki gaya unik sehingga dijadikan inspirasi bagi stasiun kereta di Eropa Tengah. Interiornya memadukan batubata, lantai granit, keramik, dan kaca patri warna-warni. Kabarnya, pada tahun 1960-an, restoran di dalam stasiun ini menjadi tempat pertemuan populer para penulis dan jurnalis. Restoran 'Orient Express' yang kini masih beroperasi itu menawarkan kopi dan camilan khas Turki sambil bernostalgia. Tapi saya lebih tertarik menyeberang ke arah laut dan bermain dengan ratusan merpati yang beterbangan di halaman Yeni Camii atau New Mosque.


Halaman luar New Mosque


New Mosque

Empat hari kemudian, setelah mengikuti rangkaian kegiatan kantor di daerah yang cukup jauh dari Sultanahmet, saya kembali. Seperti rencana, Jumat sore itu saya habiskan di Hagia Sophia (lagi). Saya memang termasuk 'slow traveler', yang lebih senang menikmati sebuah lokasi wisata pelan-pelan sambil mengobrol dengan siapa saja yang saya temui di sana. Kali ini saya mengobrol panjang lebar tentang sejarah Hagia Sophia dengan Tony, teman baru dari Canada yang akhirnya menemani saya sepanjang hari itu. Malamnya, kami berjalan ke Stasiun Sirkeci untuk menonton pertunjukan Sema. Ketika sampai, kami masing-masing membayar 40 TL, agak mahal memang tapi jauh lebih murah daripada harus ke Konya untuk melihat di tempat asalnya. Ruangan utama stasiun telah disulap dengan kursi melingkar dan alat-alat musik tradisional di tengahnya.

Tak lama, seorang berpakaian jubah khas dan topi panjang berjalan ke tengah, menyilangkan kedua tangan ke dada, dan mulai berputar. 'Tarian' ini merupakan sejenis meditasi dan masih dipraktekkan hingga saat ini di kalangan sufi aliran Mevlevi. Gerakan-gerakan dalam ritual in dimaksudkan untuk mencapai sumber kesempurnaan, dengan cara meninggalkan ego dan nafsu, mendengarkan musik yang mengalun dan berfokus pada Tuhan. Gerakan berputar-putar menyimbolkan gerak tata surya mengitari matahari, sedangkan tnagan yang menyilang menandakan kesatuan dengan Yang Maha Esa.
Beberapa saat, lengan mereka dibuka. Tangan kanan terbuka ke atas, siap menerima 'cahaya' langit dan tangan kiri telungkap ke bawah, mengalirkan segenap energi cinta ke bumi. Menurut ajaran ini, seluruh umat manusia diciptakan dari cinta untuk mencintai semesta. Seperti yang dikatakan Rumi: Cinta adalah jembatan menuju cinta yang abadi. Maka, siapa yang belum pernah merasakannya, tidak akan pernah memahaminya. "The night was one of my greatest spiritual experience :-)


"When in Rome, do as the Romans do," kata Tony ketika kami keluar dari stasiun. "So let's do what the Turkish do," lanjutnya sambil mengajak saya mencari cafe nyaman yang menyediakan sisha. Maka, malam itu kami habiskan dengan mengobrol panjang sambil menghirup sisha rasa cappucino dan menikmati teh apel panas. Dan saya pun pulang ke guesthouse sambil terbatuk-batuk serak.



Grand Bazaar

Old buildings, i love :-)

Sabtu pagi yang sejuk. Tanpa mandi, saya kenakan pakaian olahraga, sepatu keds, membawa uang sekedarnya, lalu bergegas ke taman yang berada tak jauh dari jalur trem. Ya, satu hal yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaan saya di hari Sabtu atau Minggu pagi: jogging!! Walau harus susah payah mengumpulkan nyawa setelah semalam begadang, kegiatan ini tidak boleh saya lewatkan. Setelah kembali ke Jakarta saya pasti akan menyesal jika tidak sempat berlari-lari santai di taman rindang yang aman dan menghirup segarnya udara yang tidak pernah saya rasakan di Jakarta. Saya bertemu banyak pasangan, keluarga, dan wisatawan yang menikmati udara sejuk pagi itu, tapi tak sempat mengobrol dengan siapapun karena nafas yang ngos-ngosan menapaki setapak yang menanjak naik-turun.

Sebelum tengah hari saya sudah berada di dalam Grand Bazar, memegang peta pasar besar itu agar tidak hilang arah. Hampir tiga jam saya berada di sana sebelum beralih ke Spice Bazaar. Bukan...bukan karena memborong permadani, lampu-lampu aladin, atau pernak-pernik cantik. Saya beberapa kali 'ditawan' para penjaga toko, sekedar diajak mengobrol sambil minum teh. Tapi ternyata trik 'ngobrol sok akrab' itu akhirnya menjadi alat tawar-menawar yang sukses! Saya mengantongi berbagai oleh-oleh khas dengan harga miring. Menjelang senja, setelah menemukan bumbu-bumbu titipan sepupu, saya keluar dari Spice Bazaar dan kembali menikmati jalan setapak Sultanahmet yang rapi, bersih, dan bersahabat untuk pejalan kaki seperti saya.


Setelah beristirahat sejenak, saya keluar lagi dan memutuskan untuk menghabiskan malam terakhir di Istanbul dengan duduk-duduk di bangku taman area Hippodrome. Sambil ngemil jagung rebus dan chestnut hangat, saya membayangkan kota tua Jakarta yang ditata serapi ini. Kapan ya? 


Anyway...seperti teman saya bilang, berkunjung ke suatu tempat itu seperti membaca buku. Either kita baca sekali dan merasa cukup, atau kita baca berkali-kali dan selalu menemukan sesuatu yang baru jika digali lebih dalam. Dan kami sepakat bahwa Istanbul termasuk kelompok terakhir. "Like a good book, Istanbul will keep on giving something new everytime." Teşekkürler! I will be back :-)     


senja dari atas kamar :-)


No comments: