sehari setelah kembali dari wakatobi, saya beruntung mendapat undangan dari WWF Indonesia untuk melihat pemutaran perdana film The Mirror Never Lies garapan sutradara muda Kamila Andini. film yang berkisah tentang kehidupan suku bajo itu cukup membuat mata saya segar dan...kangeeeen dengan lautan wakatobi :-)
beruntung juga saya bisa ngobrol dekat dengan ketiga pemain cilik yang asli bajo itu: eko, inal, dan gita - karena pendamping mereka, zukni, adalah teman seperjalanan tim saya ketika kami berada di sana selama 10 hari. malam yang kocak...saya dan ria, temen nyelem yang bantu ngerjain fotografi underwater di wakatobi, gak berhenti-berhenti tertawa karena tingkah mereka :-) review ini udah nongol di majalah DiveMag edisi Mei 2011, saya posting ke sini yaaa...
==
Harum Sekartaji for DiveMagIndo / Photos courtesy of SET Film
Belum genap dua hari menginjakkan kaki di ibukota setelah hampir dua minggu ‘mengapung’ di lautan Wakatobi, mata saya kembali dimanjakan oleh keindahan alamnya melalui film The Mirror Never Lies (TMNL) atau Laut Bercermin. Film hasil kolaborasi Pemerintah Kabupaten Wakatobi, WWF Indonesia dan SET Film ini menjadi debut sutradara muda Kamila Andini, dan diputar perdana dalam acara media screening yang berlangsung pada 26 April lalu. TMNL menjanjikan sebuah tontonan alternatif yang bermutu dan mendidik, di tengah absennya film-film asing di tanah air.
Dengan mengambil setting di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, film yang diproduseri Nadine Chandrawinata dan Garin Nugroho ini tidak hanya menceritakan sebuah drama keluarga yang sarat makna namun juga memaparkan keindahan alam dan keanekaragaman bahari Wakatobi lewat gambar-gambar indah yang disuguhkan dalam setiap adegan: langit biru, laut bening, terumbu warna-warni. Selain itu TMNL sekaligus memperkenalkan kehidupan nyata serta kearifan lokal Suku Bajo yang sangat sederhana namun penuh kebijakan.
TMNL berkisah tentang Pakis (Gita Novalista), seorang anak Bajo berusia 12 tahun yang berjuang keras untuk mencari ayahnya yang hilang di laut. Sebagai pelaut ulung, Suku Bajo seperti ditakdirkan untuk lahir, hidup, dan mati di lautan luas. Pakis percaya bahwa sang ayah masih hidup dan suatu hari akan kembali pulang, sehingga ia setia menunggu sambil sesekali melakukan Nginda’ ka Carummeng - menggunakan cermin dan air yang dipercaya dapat melihat keberadaan orang dan benda yang hilang. Namun bayangan ayahnya tidak pernah terlihat.
Konflik muncul ketika Tayung (Atiqah Hasiholan), ibunya, seringkali membuyarkan harapan Pakis dengan mengatakan bahwa ayahnya telah mati, namun sekaligus menyangkal kenyataan bahwa suaminya telah pergi dengan menutupi wajahnya dengan bedak. Harapan Pakis pun terombang-ombing. Bersama Lumo (Eko) dan Kutta (Zainal), Pakis terus berusaha mencari jawaban dari laut Wakatobi.
Suasana penuh emosi bertambah dengan kehadiran Tudo (Reza Rahadian), seorang peneliti lumba-lumba, dalam kehidupan mereka. Muncullah cinta segi empat antara Tayung-Tudo-Pakis-Lumo yang dikemas apik dengan menghadirkan dialog-dialog bermakna, jauh dari roman picisan. Mereka berempat yang memiliki interpretasi berlainan mengenai kehidupan bahari dan keganasan laut, pada akhirnya tanpa sadar memetik pelajaran berharga dari indahnya dunia bawah laut, bersama-sama.
Tidak perlu saya uraikan dengan rinci jalan ceritanya, karena hal yang paling menarik sebenarnya adalah keberhasilan TMNL menyisipkan pesan-pesan lingkungan ke berbagai dialog tanpa terasa menggurui, sehingga cerita dramanya tetap mengalir dengan halus. Konflik antara Pakis dengan ibunya yang sedang memuncak sempat dibumbui dengan adegan kemarahan si gadis kecil ketika sang Ibu menyuguhkan ikan berukuran kecil untuk makan siang. “Kata Bapak, ikan yang masih kecil tidak boleh ditangkap,” ujarnya. Pendirian Pakis diperkuat dengan adegan pencurian ikan kecil di pasar, yang kemudian ia kembalikan ke laut.
Atau ketika anak-anak ini membantu Tudo mencari lumba-lumba untuk diteliti namun tak kunjung berjumpa dengan yang mereka cari. “Kata Bapak, lumba-lumba membantu manusia mencari ikan cakalang,” kata Pakis. Kalimat ini ditegaskan oleh Tudo dengan penjelasan bahwa kini sudah semakin sedikit lumba-lumba sehingga nelayan pun kesulitan mencari ikan. Walau tampak sederhana, adegan dan dialog-dialog itu menyiratkan pesan konservasi bahari yang kental, bahwa manusia harus bersahabat dengan laut seisinya, tidak merusaknya, agar laut tetap bisa memberi penghidupan.
Menurut saya adegan di atas tidak mengada-ada. Warga Bajo memiliki kearifan tradisional terhadap laut. Saya jadi teringat pertemuan dengan seorang ibu di kampung Bajo Sampela di Kaledupa, seminggu sebelumnya. Di tengah obrolan akrab, ibu tersebut menceritakan dengan gamblang mengenai upaya perlindungan laut yang sedang dilakukan warga kampungnya. Dengan bersemangat ia menceritakan fungsi daerah perlindungan laut, larangan mengambil ikan dari ‘Bank Ikan’, ketatnya penjagaan terumbu karang oleh warga, dan pemahaman yang sangat mendalam tentang fungsi terumbu karang.
Pemilihan Wakatobi sebagai lokasi pengambilan gambar menurut saya sangat tepat, karena keunikan wilayahnya. Dengan luas 1,39 juta hektar, 97% wilayah Wakatobi merupakan lautan, menyisakan hanya 3% daratan – dan seluruhnya masuk sebagai kawasan konservasi Taman Nasional Laut. Sebanyak 39 pulau, 3 gosong, dan 5 atol membujur dari Barat Laut hingga ke Tenggara kaki Pulau Sulawesi. Lautnya menjadi rumah bagi 750 jenis karang dari 850 spesies karang di dunia, selain 900 spesies ikan. Tak heran Wakatobi disebut sebagai jantung segitiga terumbu karang dunia, dan tak heran jika scene bawah laut dalam TMNL terlihat begitu indah.
Budaya Suku Bajo di Wakatobi juga masih hidup, sehingga penggambaran kehidupan mereka di dalam film terlihat pas. Suku Bajo di Wakatobi tersebar di empat kampung: Mola (di Wanci), Sampela dan Lohoa (di Kaledupa), serta Lamanggau (di Tomia) dan masih ‘berteman baik’ dengan lautan. Ritual Sangal yang dilakukan setiap akhir tahun digambarkan sebagai upacara persembahan bagi laut untuk berterima kasih atas rejeki yang dilimpahkan. Akting Atiqah sebagai Tayung sangat baik, dengan dialek Bajo yang kental. Saya salut dengan perannya yang all-out: selain belajar dialek Bajo dalam waktu singkat, ia juga mau berenang di laut, mandi di antara rumah-rumah Bajo, dan mendayung sampan! Hal yang terakhir ini patut saya acungi jempol, karena saya teringat bagaimana groginya saya ketika diantar naik sampan kecil oleh dua orang anak Bajo dari Sampela ke homestay di Kaledupa. Berasa mau nyemplung euy!
Namun yang paling patut dibanggakan adalah akting Gita, Eko, dan Inal, tiga anak asli Bajo Mola yang kebagian peran utama dan pendukung. Akting mereka cukup alami, dengan sisipan beberapa adegan pemicu tawa. Sebuah bukti bahwa bibit-bibit berbakat tersebar di wilayah Indonesia selain kota-kota besar. Saya cukup beruntung bisa bertemu dan mengobrol dengan mereka sebelum ketiganya pulang ke Wakatobi, setelah seminggu berkegiatan di Jakarta. Walau telah membintangi sebuah film tingkat internasional (ya, TMNL telah mendapat penghargaan Honorable Mention dari Global Film Initiative) mereka tetaplah anak-anak Bajo yang sederhana dan menyenangkan. “Kangen dengan langit biru, laut bersih, ikan segar. Di Jakarta kok laut warnanya coklat ya,” begitu celetukan polos seorang Eko mengomentari laut di Ancol yang mereka kunjungi. Mirip dengan salah satu dialog dalam film yang kira-kira isinya seperti ini:
“Rumah kita adalah laut,
Walaupun bergoyang, tetapi hidup.
Untuk apa di gedung tinggi, tapi mati semua.
Tidak ada tempat untuk bintang, tidak ada tempat untuk ikan”
pulau hoga, kaledupa - photo by me
Film yang penggarapannya membutuhkan waktu tiga tahun ini hanya memiliki satu kekurangan menurut saya: underwater scene-nya kurang banyak :-). Selamat kepada Kamila Andini dan seluruh kru yang telah berani menghadirkan film bermutu, walau prosesnya sangat sulit akibat kondisi cuaca di lokasi yang seringkali tidak bersahabat. Semoga tujuan mulia untuk mengangkat kekayaan budaya Suku Bajo, sekaligus mengampanyekan keanekaragaman terumbu karang di lautan Wakatobi tercapai, hingga pada akhirnya masyarakat ikut menyadari pentingnya menjaga kelestarian bahari Indonesia.
Seperti yang diharapkan oleh Devy Suradji, Direktur Marketing dan Komunikasi WWF Indonesia, agar semakin banyak pihak yang memberi perhatian lebih untuk menjaga kekayaan hayati di kawasan ini. “Upaya konservasi di kawasan Coral Triangle bukan tugas segelintir orang saja, tapi menjadi tanggung jawab kita semua,” ujarnya. Bapak Ir. Hugua, Bupati Wakatobi, berharap TMNL dapat ikut mempromosikan Wakatobi sebagai daerah tujuan ekowisata laut dan pusat penelitian bawah laut dunia.
TMNL sudah diputar di bioskop 21 sejak 5 Mei 2011. Nah, siapa yang belum nonton, segera luangkan waktu sebelum habis masa tayangnya ya. Saya saja sampai nonton tiga kali demi menghafal lirik yang didendangkan Lumo dan kawan-kawan, akibat selalu terngiang-ngiang di kepala:
“Kaledupa pulau yang panjang
Menangkap ikan untuk dimakan
Ingat pesan si nenek moyang
Menjaga hidup terumbu karang”
Untuk informasi mengenai film ini, kunjungi
www.wwf.or.id/themirrorneverlies
4 comments:
diputar dimana? ada dvd dijual bebaskah?
dvd blom ada mas...tp di 21 dah diputar dr 5 mei...
hasyaaah gak tau, baru masuk jakarta semalem nih
Wah sebuah review film laut dari pecinta laut :)
Post a Comment