February 09, 2013

Menyelami Pulau-Pulau Kecil Wakatobi



Voice+ Magazine, January 2013

Text: Harum Sekartaji
Photos: Harum Sekartaji (land) & Ria Qorina Lubis (underwater)


Matahari telah bersinar dengan teriknya ketika pesawat kecil jenis Dornier 328-100 lepas landas dari bandara Betoambari, Bau-bau, tempat transit kedua. Setelah penerbangan panjang dari Jakarta ke Makassar lalu Bau-bau, akhirnya kami melanjutkan ke tujuan akhir: Wakatobi! Yang menggembiarakan, kali ini kami akan mengunjungi pulau-pulau kecil yang masih jarang dikunjungi wisatawan lain.

Langit biru cerah menyambut kedatangan kami di bandara Matahora, Wangi-wangi – atau sering disebut Wanci, ibukota Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seperti tersihir indahnya langit yang jarang ditemui di Jakarta, kami segera mengabadikan cuaca cerah itu. Karena jalan utama hanya terletak 10 meter dari bibir pantai, sepanjang perjalanan dari bandara menuju tengah kota mata kami disuguhi pantai berpasir putih dan laut...laut...laut!   



Ya, mendengar Wakatobi pikiran kita pasti segera teringat lautan. Kabupaten seluas 1,39 juta hektar ini memang didominasi oleh perairan dengan pulau yang tersebar dari barat laut hingga tenggara Sulawesi. Bayangkan, 97% wilayahnya adalah lautan! Kondisi ini menjadikan alam Wakatobi sangat kaya: pantai yang tersebar di 39 pulau, 3 gosong, 5 atol, gugusan terumbu karang sepanjang 600 km, dan beraneka spesies ikan yang berlimpah. Wakatobi, yang seluruh wilayahnya termasuk kawasan taman nasional, merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton dan terletak diantara Laut Banda, Laut Flores dan Pulau Buton. Tempat yang dulu dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi ini mengambil namanya dari singkatan empat pulau terbesar, yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.   






Setelah melepas lelah, kami menikmati senja pertama di Wakatobi dari sebuah rumah kayu di pinggir laut yang biasa digunakan sebagai tempat pelatihan petani rumput laut. Semburat kekuningan dan matahari bulat penuh tampak begitu dekat tempat kami duduk. Namun suasana senja itu tidak bisa kami nikmati terlalu lama karena harus bergegas ke pelabuhan. Ya, kami akan mengikuti perjalanan beberapa teman melakukan reef check. Walaupun tidak ikut dalam kegiatan penelitian, rombongan kami sangat beruntung dapat merasakan pengarungan di atas Floating Ranger Station (FRS) Menami. Stasiun penelitian ini dimiliki bersama oleh TNC dan WWF Indonesia, namun lembaga lain, pemerintah daerah, dan Balai Taman Nasional seringkali bekerja sama dalam pemeliharaan terumbu karang kawasan Wakatobi. FRS Menami yang telah beroperasi sejak 2003 itu mengambil nama dari sebutan masyarakat Wakatobi terhadap ikan napoleon. Dengan panjang 27 meter, Menami dilengkapi dua sekoci untuk memudahkan penumpang mendarat di pantai dangkal yang tidak mungkin didekati kapal besar.


Pengarungan laut dimulai!

Tengah malam, kami mulai mengarungi lautan Wakatobi. Rencananya kapal akan berhenti di Pulau Runduma, salah satu pulau terluar yang jarang disinggahi wisatawan karena tak ada sarana transportasi umum ke sana. Setelah itu kami akan singgah ke beberapa pulau kecil lain seperti Kentiole, Tuwu-tuwu, dan Sawa, serta pulau-pulau besar Tomia, Kaledupa, dan Binongko – baik untuk menikmati keindahan bawah lautnya maupun menjelajahi daratannya.

Sembilan jam kemudian, setelah semalam terlalui di tengah laut, kami tiba di Runduma. Sinar matahari pagi menyinari pulau kecil yang termasuk wilayah Kecamatan Tomia itu. Wah! Benar-benar bersih, bening, dan tidak ada sampah sama sekali. Pulau Runduma dikelilingi laut dalam sehingga sulit sekali mendapatkan air tawar. Tak heran di halaman rumah penduduk tergeletak gentong-gentong tanah liat untuk menampung air hujan guna memenuhi kebutuhan air bersih. Sebuah danau di tengah pulau, Olobloli, menjadi daya tarik bagi pengunjung yang senang melakukan trekking melewati kebun dan hutan. Sebenarnya ini salah satu potensi yang bisa dikembangkan, namun tentu saja terbentur oleh sarana transportasi laut yang nihil serta kondisi jalan setapak yang sulit dilalui. Dalam perjalanan kembali dari danau, mata saya tertuju pada sepasang ibu dan anak yang sedang memarut singkong di pinggir kebun. “Mereka sedang membuat kasuami,” cetus Bojes, teman baru kami yang setia menemani berkeliling Wakatobi. Ya, kasuami yang terbuat dari parutan singkong dan hasil akhirnya berbentuk kerucut itu memang menjadi makanan pokok di Wakatobi. Biasa dimakan bersama ikan, popularitasnya jauh melampaui nasi! Kami pun menghabiskan sore itu membantu pembuatan kasuami di tengah kebun.

Tak jauh dari Runduma, Pulau Anano menyuguhkan ‘atraksi’ peneluran penyu. Karena pantainya tidak terlalu basah ataupun kering, dengan pasir lembut dan ombak lirih, Anano menjadi tempat peneluran penyu yang ideal. Apalagi, pulau ini tak berpenduduk. Di Wakatobi, ada tiga jenis penyu yang biasa muncul untuk bertelur yakni penyu hijau, penyu belimbing, dan penyu sisik. Malam itu kami bermalam di pulau kecil yang gelap gulita tanpa listrik itu untuk menunggui penyu merangkak naik ke pantai. Sungguh pengalaman menarik! Tentu saja kunjungan ke pulau ini hanya bisa dilakukan ditemani pemandu setempat dengan ijin khusus, demi menjaga kelestariannya.





Menyelami keindahan Wakatobi

Belum ke Wakatobi jika tidak menikmati keindahan bawah lautnya. Betul, karena terletak di tengah wilayah segitiga karang (coral reef triangle) yang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia, Wakatobi menjanjikan pemandangan bawah laut yang sungguh menakjubkan! Wakatobi memiliki tak kurang dari 90.000 hektar wilayah terumbu karang, dan Atol Kaledupa sepanjang 48 km merupakan atol terpanjang di dunia.

Topografi dalam laut Wakatobi beragam. Slope, flat, drop-off, atoll bahkan gua bawah laut menjadikan keindahannya tidak terbatas untuk dijelajahi. Dengan kedalaman bervariasi dan dasar berpasir serta berkarang, perairan Wakatobi menawarkan visibility atau jarak pandang tak terhingga. Sangat jernih, bagai sedang berada di dalam akuarium penuh ikan warna-warni! Keberadaan pulau-pulau kecil dan terpencil di sekitar Tomia seperti Runduma, Anano, Kentiole, dan Tuwu-tuwu yang amat jarang dikunjungi menyajikan pemandangan spektakuler, selain kapal karam yang kini menjelma menjadi ‘rumah’ bagi bermacam ikan dan terumbu.


Bawah laut Pulau Runduma memiliki karakteristik wall berarus tenang. Jarak pandangnya sangat baik namun tidak banyak ditemukan ikan dan terumbu karang. Di bawah lautan Pulau Kentiole yang tak berpenghuni, sebuah kapal yang karam saat pendudukan Jepang berada di kedalaman 3 meter saja. Laut yang jernih memudahkan kami menemukan badan kapal  yang sebagian terangkat ke permukaan laut. Walaupun sudah tidak utuh, bentuknya masih terlihat cukup jelas; di beberapa bagian terlihat ikan-ikan karang, hard coral, serta anemone. Kentiole juga menyimpan terumbu karang warna-warni. Kami melihat Gorgonian dalam berbagai bentuk dan rupa, Sinularia berwarna kuning yang rapat berdempet bagai hamparan karpet empuk, serta giant clamp, sponge, dan feather star. Luar biasa indah!

Pulau Tuwu-tuwu menyimpan ribuan ikan karang, soft coral berwarna-warni, schooling snappers, serta schooling jackfish. Tempat berikutnya yang tak kalah jernih adalah Pulau Sawa. Dengan suhu hangat dan hanya sedikit arus, para penggemar fotografi bawah laut pasti akan menemukan kepuasan ketika menyelaminya.

Titik penyelaman lain di Tomia yang menyuguhkan keindahan reruntuhan bangkai kapal adalah Kulati wreck. Bagian terbawah kapal berada pada kedalaman 24 meter. Sebuah tempat yang sangat terkenal dan sayang jika dilewatkan adalah Karang Marimabuk. Lokasi berbentuk slope ini memiliki karang sangat unik, berupa massive coral Pavona sp., table coral serta Acropora forbesi yang menutupi hampir seluruh bagian. Menakjubkan! Tak heran jika lokasi ini dinamakan Mari Mabuk, karena para penyelam pasti tersihir dan mabuk oleh keindahan terumbu karang sehatnya, selain ribuan ikan karang yang berseliweran di depan mata.

Tempat lain yang sering dikunjungi penyelam diantaranya adalah Karang Palahidu di Binongko, Waha dan Kapota di Wangi-wangi, Sampela dan Pulau Hoga di Kaledupa. Pulau Hoga yang terletak tak jauh di timur Kaledupa merupakan tujuan wisata yang telah dikenal lama oleh penyelam dan peneliti luar negeri. Hoga menjadi pusat kegiatan penelitian Operation Wallacea sejak tahun 1995, dengan fasilitas penyelaman, penelitian, dan akomodasi yang lengkap. 200 pondok berbentuk rumah panggung yang difungsikan sebagai homestay dikelola oleh masyarakat setempat, menawarkan pengalaman bermalam diantara rindangnya pohon cemara dan kelapa.






Selain di Hoga, Anda dapat menikmati kebersamaan dengan penduduk di homestay milik Waha Tourism Community, Wanci. Dengan Rp 100,000 – Rp 200.000 per malam Anda bisa memesan paket makanan dan wisata. Penginapan lain tersedia dengan harga bervariasi. Patuno Resort menyediakan kamar seharga Rp 500.000 – 1.500.000 per malam. Hotel Wakatobi atau Hotel Wisata bisa menjadi pilihan yang lebih sederhana.

Wakatobi mudah dijangkau dari Jakarta. Express Air terbang setiap hari dengan rute Jakarta-Makassar-Baubau-Wangiwangi, dengan biaya sekitar Rp 2,500,000 pp. Kapal reguler berangkat setiap pagi dari Wanci ke Kaledupa dan Tomia. Untuk menjangkau Binongko Anda harus singgah dahulu ke Tomia untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan ongkos sekitar Rp 50,000.

Lima hari mengarungi lautan Wakatobi ditambah lima hari menjelajah daratannya, mencumbu pasir pantai-pantainya, menyelami lautannya, berbincang dengan masyarakatnya, menikmati sajian kuliner khasnya…sungguh salah satu pengalaman paling mengesankan! Kalau tak ingat bahwa liburan hampir berakhir, ingin rasanya tinggal di Wakatobi  lebih lama. Mungkin lain waktu.




No comments: